REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Palestina termasuk wilayah yang berada di bawah kekuasaan Dinastti Ottoman pada abad ke-16. Saat Yavuz Sultan Selim mengalahkan penguasa Mamluk Kansu Gavri dalam Pertempuran Marj Dabiq pada 1516, Suriah dan Palestina bergabung dengan Ottoman. Yavuz Sultan Selim memasuki Yerusalem pada 29 Desember 1516
Di bawah pemerintahan Ottoman, wilayah Palestina diorganisasi menjadi tiga bagian, yaitu Yerusalem, Gaza, dan Nablus. Selama 401 tahun, Ottoman menguasai Palestina.
Dulunya, Palestina merupakan wilayah yang sangat penting bagi penganut tiga agama samawi, yakni umat Islam, Kristen, dan Yahudi. Ketika pasukan Barat menginvasi pada abad ke-19, kekacauan yang tidak pernah berakhir dimulai di Palestina dan wilayah lain di Timur Tengah.
Orang-orang Yahudi menyebar ke seluruh dunia setelah Romawi membakar Yerusalem pada tahun 70 Masehi. Mereka harus menanggung siksaan kemanapun mereka pergi.
Sejak itu, mereka telah menunggu seorang juru selamat yang akan mengumpulkan mereka dalam satu negara. Karena kedatangan mesias yang telah lama ditunggu-tunggu ini tertunda, beberapa idealis Yahudi muncul untuk mendirikan sebuah negara Israel. Ini dimulai pada kelompok yang disebut zionis berkumpul di Basel, Swiss 1897.
Wilayah yang dijanjikan
Zionis meminta bantuan Inggris untuk mewujudkan impiannya. Akan tetapi, tuntutan mereka tidak ditanggapi dengan serius. Kaum zionis mendapat penawaran wilayah Uganda, Siberia, dan Siprus tapi mereka tidak setuju. Mereka hanya menginginkan Palestina, rumah bagi ratusan ribu orang Arab yang disebut tanah perjanjian dalam kitab Taurat.
Menanggapi ini, Ottoman segera mengambil tindakan pencegahan. Jauh sebelum zionis bertindak, pada 1871, Ottoman mendeklarasikan 80 persen Palestina sebagai milik negara. Sultan Abdul Hamid II yang ketika itu memimpin, meningkatkan tindakan pencegahan terhadap pemukiman Yahudi di Palestina.
Pada 1883, dia membatasi akuisisi tanah Palestina dan memutuskan untuk mengambil wilayah strategis itu. Kemudian pada 1900, dia membatasi masa tinggal orang Yahudi di wilayah Palestina menjadi 30 hari.
Dia melarang akuisisi wilayah untuk orang Yahudi asing di wilayah Kekaisaran Ottoman, termasuk Palestina. Dinyatakan bahwah wilayah Utsmaniyah bukanlah daerah pemukiman bagi orang-orang yang diasingkan dari Eropa.
Tidak ada ruang untuk persetujuan
Pemimpin Gerakan Zionis, Theodor Herzl meminta bantuan Sultan Abdul Hamid II untuk mendapatkan wilayah Palestina. Saat permintaannya ditolak, dia menyampaikan tawarannya kepada sultan melalui teman dekatnya, Phillip Newlinsky dari Polandia pada bulan Mei 1901.
Mereka menawarkan untuk membayar hutang luar negeri Utsmaniyah dan memberikan propaganda kepada Sultan Ottoman di Eropa. Imbalannya, mereka meminta pembukaan tanah Palestina menjadi pemukiman Yahudi dan mengalihkan pemerintahan kepada orang-orang Yahudi. Mendengar itu, sultan menolak keras.
“Saya tidak akan menjual apa pun bahkan satu inci pun dari wilayah Palestina karena wilayah ini bukan milik saya melainkan milik semua rakyat Ottoman. Rakyat saya memenangkan tanah ini dengan darah mereka.”
Herzl tak pantang menyerah. Dia mengulangi tawarannya sekali lagi pada tahun berikutnya tapi jawabannya tetap sama. Sultan bukan seorang anti-Semit. Istilah itu tidak memiliki tempat dalam budaya Muslim-Turki.
Dia hanya dikenal sebagai pemimpin yang pendekatannya realistis daripada emosional dalam mengatasi masalah. Saat itu, Utsmaniyah adalah rumah bagi populasi Yahudi terbesar di dunia yang hidup bebas. Thessaloniki yang kemudian menjadi bagian dari Kekaisaran Ottoman, kemudian menjadi kota Yahudi terbesar di dunia.