REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Syariat tidak malarang seorang laki-laki (suami) jika memiliki kemampuan beristri lebih dari satu. Lantas bolehkah seorang istri memberikan syarat kepada calon suami untuk tidak dimadu?
Muhammad Bagir bukunya dalam 'Panduan Lengkap Muamalah Menurut Al-Quran, Al-Sunnah dan Pendapat Para Ulama', menjelaskan agama (Islam) juga memberi jalan pada perempuan untuk mengambil janji dari calon suaminya baik secara langsung ataupun melalui walinya bahwa selama pernikahan dia tidak akan dimadu.
Dan jika hal itu telah ditetapkan bersama, maka janji dan persyaratan tersebut adalah sah dan berlaku untuk selanjutnya. Dan apabila janji tersebut dilanggar, istri berhak menuntut agar perkawinan itu difasakh-kan (dibatalkan). "Dengan segala konsekuensi yang harus ditanggung suami," katanya.
Dan hak fasakh tersebut tidak akan gugur kecuali perempuan itu sendiri yang menggugurkannya atau dia rela dan mengijinkan suaminya melanggar janji tersebut. Artinya suami direlakan menikah tanpa diberkan sanksi dibatalkan pernikahannya.
Begitulah yang ditegaskan Imam Ahmad bin Hanbal dan dikuatkan ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim dengan beralasan bahwa berbagai persyaratan yang mengikat sebuah perkawinan adalah lebih kuat dan lebih utama untuk dipatahu daripada segala persyaratan yang mengikuti transaksi perdagangan, sewa menyewa, dan sebagainya. "Yang tentunya juga wajib di patuh," katanya
Dalil-dalil mereka antara lain, sabda Nabi Muhammad yang diriwayatkan Bukhari Muslim. "Di antara berbagai persyaratan yang kamu sekalian paling berkewajiban mematuhinya ialah yang dibuat demi menghalalkan seorang perempuan untuk kalian nikahi."
عَنِ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ، قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ وَهْوَ عَلَى الْمِنْبَرِ " إِنَّ بَنِي هِشَامِ بْنِ الْمُغِيرَةِ اسْتَأْذَنُوا فِي أَنْ يُنْكِحُوا ابْنَتَهُمْ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ فَلاَ آذَنُ، ثُمَّ لاَ آذَنُ، ثُمَّ لاَ آذَنُ، إِلاَّ أَنْ يُرِيدَ ابْنُ أَبِي طَالِبٍ أَنْ يُطَلِّقَ ابْنَتِي وَيَنْكِحَ ابْنَتَهُمْ، فَإِنَّمَا هِيَ بَضْعَةٌ مِنِّي، يُرِيبُنِي مَا أَرَابَهَا وَيُؤْذِينِي مَا آذَاهَا
Bukhari dan Muslim juga merawikan dari Al Miswar bin Makhramah bahwa dia pernah mendengar Rasulullah SAW berpidato di ata mimbar. "Bahwasanya keluarga Hisyam ibn Al-Mughira (yakni keluarga Abu Jahal) telah meminta diriku agar mengizinkan mereka mengawinkan anak perempuan mereka dengan Ali bin Abi Thalib.
"Tidak!" Aku tidak mengizinkan. Aku tidak mengizinkan, kecuali sebelum itu Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku dan baru setelah itu menikahi putri mereka! Putriku fatimah adalah bagian dari darah dagingku, apa saja yang menggelisahkan aku enggelisahkan aku juga. Dan apa saja yang mengganggunya, mengganggu aku juga."
Selanjutnya, beliau mengisyaratkan tentang salah seorang menantunya yang lain dan memuji seraya bersabda:
إِنِّي لَسْتُ أُحَرِّمُ حَلاَلاً وَلاَ أُحِلُّ حَرَاماً، وَلَكِنْ واللهِ لاَ تَجْتَمِعُ بِنْتُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِنْتُ عَدُو اللهِ مَكَاناً وَاحِداً أَبَداً
"Dia berkata jujur kepadaku, dan berjanji kepadaku, lalu memenuhi janjinya. Dan sungguh aku tidak hendak mengharamkan sesuatu yang halal, tetapi demi Allah takkan pernah putri Rassulullah dan putri musuh Allah berhimpun di satu tempat."
Berkaitan dengan peristiwa ini, Ibn Qayyim berkomentar bahwa sabda Rasulullah SAW tersebut mengandung beberapa butir hukum. Salah satu di antaranya adalah apabila seorang telah menjanjikan kepada istrinya bahwa ia tidak akan dimadu, maka wajib atasnya untuk memenuhi janjinya itu. Sekiranya ia kemudian kawin lagi dengan perempuan lain, maka istri pertamanya berhak untuk mengajukan pembatalan atas perkawinan dirinya dengan suaminya.