Selasa 06 Apr 2021 07:34 WIB

Salah Redaksi Saat Membaca Doa, Bagaimana Sikap Kita?

Salah membaca redaksi doa tak perlu buru-buru dianggap keliru

Salah membaca redaksi doa tak perlu buru-buru dianggap keliru. Ilustrasi doa
Foto:

Poin berikutnya adalah mengenai ‘kesalahan fatal’ dalam redaksi doa yang digunakan orang tersebut menurut sang ustadz. Redaksi yang ia baca adalah :

اللهم اقْسِمْنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تُحَوِّلُنَا بِهِ جَنَّتَكَ Redaksi ini oleh sang ustadz diterjemahkan seperti ini: “Ya Allah, berikanlah kami rasa takut pada-Mu yang memindahkan kami dari surga-Mu.”

Sebenarnya, terjemahan ini baru pas kalau orang tersebut menambahkan kata مِنْ ‘dari’ sebelum kata جَنَّتَكَ ‘surga-Mu’. Tanpa kata مِنْ ‘dari’ maka artinya tidak mutlak seperti yang diklaim sang ustadz, karena kata جَنَّتَكَ ‘surga-Mu’ dalam hal ini menjadi objek kedua (maf’ul bih tsani) dari kata تُحَوِّلُنَا “memindahkan kami’, sehingga artinya bisa saja menjadi: “Ya Allah, karuniakan kami rasa takut pada-Mu, yang dengan rasa takut itu bisa memindahkan kami akan (kepada) surga-Mu”. Jadi ‘surga-Mu’ dalam hal ini bisa dipahami sebagai tujuan dipindahkan. 

Tapi anggaplah terjemahan yang disampaikan sang ustadz terhadap redaksi orang tersebut benar. Lalu apakah ini berarti si pendoa benar-benar meminta kepada Allah untuk dipindahkan dari surga? Dan apakah orang-orang yang mengaminkannya juga berkeinginan seperti itu? Serta yang paling penting, apakah Allah SWT akan mengabulkan sebuah doa sesuai dengan redaksi yang terucap dari mulut atau melihat kepada apa yang ada di dalam hati? Mari perhatikan hadits sahih yang diriwayatkan Imam Muslim berikut ini:

لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ، مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلَاةٍ، فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ، فَأَيِسَ مِنْهَا، فَأَتَى شَجَرَةً، فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا، قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ، فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا، قَائِمَةً عِنْدَهُ، فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا، ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ: اللهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ، أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ

“Sungguh Allah lebih bergembira dengan taubat hamba-Nya ketika ia bertaubat, daripada seseorang yang berada di atas hewan tunggangannya di sebuah padang lepas, lalu hewan itu lepas darinya, sementara di atasnya ada makanan dan minumannya. Ia pun merasa putus asa (hewan tunggangannya itu kembali lagi). Akhirnya ia berteduh di sebuah pohon dalam keadaan pasrah. Tiba-tiba hewan tunggagannya sudah berada di depannya. Ia segera meraih tali kekangnya. Saking gembiranya ia berkata, “Ya Allah, Engkau hambaku dan aku tuhan-Mu.”

Dia keliru karena sangat bergembira.” Kesalahan orang ini tidak hanya dari segi qawa’id atau kaidah bahasa seperti yang terjadi pada orang yang diceritakan sang ustadz di atas. Kesalahannya tidak hanya pada masalah redaksi, melainkan pada makna dan substansi. Dia sampai mengatakan, “Ya Allah, Engkau hambaku dan aku tuhan-Mu…”. Bukankah ini adalah kalimat kafir?

Tapi apakah memang itu yang dia maksudkan?..

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement