Selasa 30 Mar 2021 20:06 WIB

Keislaman, Kearaban, dan Keindonesiaan (2)

Arab dan Islam selalu disebut dalam satu tarikan nafas.

Keislaman, Kearaban, dan Keindonesiaan (2). Wisatawan berjalan di kompleks Masjid Menara Kudus, di Desa Kauman, Kudus, Jawa Tengah, Kamis (11/3/2021). Hari libur Isra Miraj dimanfaatkan wisatawan untuk berkunjung ke masjid peninggalan Sunan Kudus tersebut untuk beribadah dan belajar sejarah sekaligus ziarah ke makam Sunan Kudus yang terletak di sisi barat masjid itu.
Foto:

Ketika para intelektual tersebut membanggakan kejayaan Arab maka yang terbayang dalam benak mereka tidak lain dan tidak bukan adalah kejayaan Islam. Jadi Arab dan Islam selalu disebut dalam satu tarikan nafas.

George Zaedan, Amin Maalouf, dan sastrawan-sastrawan prolifik Arab lainnya yang nota bene beragama Kristen, juga selalu menulis karya sastra dengan setting kejayaan Islam. Baca saja novel-novel sejarah seperti Pasukan Islam di Tanah Galela, Fathu al-Andalus (George Zaedan), Samarkand, Balthasar Odyssey, Leo the African (Amin Maalouf), dan lain-lainnya: sejarahnya adalah sejarah Islam! Ini mirip dengan India yang manakala melihat kejayaan masa lalu yang tampak adalah Mughal Empire dengan Taj Mahal, Qutub Manar, dan Fateh Puri-nya.

Kegemilangan sejarah bangsa Arab adalah karena Islam, tetapi kegemilangan itu menjadi kebanggaan semua orang Arab apapun agamanya. Michel Aflaq, misalnya, menyatakan: “Di mana ada Islam, di situ ada Arabisme dan kegemilangannya, karenanya tidaklah mungkin memisahkan yang satu dari yang lain. Islam merupakan semangat Arabisme yang membentuk kepribadian bangsa Arab. Dengan bangkitnya Islam, nasionalisme Arab memasuki tahap kematangan yang menentukan. Bahkan nasionalisme Arab tercipta oleh peristiwa-peristiwa sejarah yang besar. Kekuatan bangsa Arab bersumber dari kekuatan Islam, dan demikian pula sebaliknya” (Iraq Today, No 86, April, 1979).

Satu lagi contoh: Constantin Zurayk mengatakan: “Bangsa Arab membutuhkan rasa tanggung jawab kolektif dan perasaan sebagai satu bangsa, namun dengan bentuk khusus: yakni suatu bangsa yang memperoleh ilham dari suatu agama. Dan bagi bangsa Arab agama yang dimaksud tidak lain adalah Islam” (lihat Tareq Ismael, The Arab Left, 1976).

Dalam perspektif ini maka pemikiran untuk memisahkan keislaman dan kearaban sebenarnya tidak lah mungkin, dan bangsa Arab sendiri menyatakannya sebagai tidak perlu. Maka bagi umat Islam yang bukan bangsa Arab tidak lah perlu menyuruh mereka memisahkan keduanya, sebagaimana tidak perlunya kita mengidentikkan keindonesia dan kearaban. Pasalnya: kita bukan bangsa Arab. Kita adalah bangsa Indonesia yang beragama Islam! Itulah keislaman dan keindonesiaan. Jelas, bukan?

sumber : Suara Muhammadiyah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement