Selasa 30 Mar 2021 20:06 WIB

Keislaman, Kearaban, dan Keindonesiaan (2)

Arab dan Islam selalu disebut dalam satu tarikan nafas.

Keislaman, Kearaban, dan Keindonesiaan (2). Wisatawan berjalan di kompleks Masjid Menara Kudus, di Desa Kauman, Kudus, Jawa Tengah, Kamis (11/3/2021). Hari libur Isra Miraj dimanfaatkan wisatawan untuk berkunjung ke masjid peninggalan Sunan Kudus tersebut untuk beribadah dan belajar sejarah sekaligus ziarah ke makam Sunan Kudus yang terletak di sisi barat masjid itu.
Foto: ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho
Keislaman, Kearaban, dan Keindonesiaan (2). Wisatawan berjalan di kompleks Masjid Menara Kudus, di Desa Kauman, Kudus, Jawa Tengah, Kamis (11/3/2021). Hari libur Isra Miraj dimanfaatkan wisatawan untuk berkunjung ke masjid peninggalan Sunan Kudus tersebut untuk beribadah dan belajar sejarah sekaligus ziarah ke makam Sunan Kudus yang terletak di sisi barat masjid itu.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hajriyanto Y. Thohari, Wakil Ketua MPR RI 2009-2014, Ketua PP Muhammadiyah

Bagi orang Islam nonarab seperti kita, memang mudah sekali mengatakan bahwa Islam tidak identik dengan Arab. Pasalnya, Islam adalah agama yang bersifat universal, lintassuku dan lintasbangsa; sementara Arab adalah nama atau identitas suatu bangsa: Bangsa Arab. Dan jangan lupa orang Arab itu, seperti kata Albert Hourani, dalam Arabic Thought in the Liberal Age (1962), mendefinisikan dirinya dengan bahasa: bahwa bangsa Arab adalah meliputi semua masyarakat yang berbahasa Arab.

Baca Juga

Walhasil, yang mempersatukan Arab menjadi satu bangsa sekarang ini adalah bahasa (Arab), bukan agama (Islam). Faktanya tidak semua orang Arab beragama Islam, bahkan secara numerikal jumlahnya juga lumayan besar. Meskipun demikian hubungan orang Arab dan Islam itu tetap saja unik. Pasalnya, pembawa risalah Islam, Nabi Muhammad SAW dan penganut-penganut awal, adalah bangsa Arab (asli).

Philip K. Hitti, guru besar Bahasa Semit di Universitas Princeton, dalam bukunya The Arab: A Short History, mengatakan bahwa bangsa Arab asli adalah kaum Badawi yang tinggal di jazirah Arab (atau “Pulau Arab”, karena orang Arab menyebut negerinya dengan pulau, al-jazirah). Mereka itu sebelum Islam bukanlah siapa-siapa: tidak dikenal dalam sejarah dan peradaban dunia.

Tapi setelah kedatangan Islam mereka lah yang menjadi pilar utamanya dan mereka pula lah yang membawanya keluar jazirah Arab: bukan hanya berhasil mengislamkan bangsa-bangsa di sekitarnya sampai ke seluruh Afrika Utara, tapi juga mengarabkannya. Maka mendiang Ismail Al-Faruqi, guru besar di Universitas Temple, dalam Islam dan Kebudayaan menyatakan bahwa Arab (baca: ‘urubah) itu ibu kandung kebudayaan Islam.

Tapi uniknya kelak sang ibu kandung (Arabisme) dikalahkan sang anak (Islam). Tak heran jika posisi Islam di dalam bangsa Arab sendiri sangat lah unik, bahkan bagi bangsa Arab sendiri sekalipun!

Maka jangan kaget ketika menemukan para intelektual Arab nonmuslim seperti Constantin Zureik (tokoh aktivis dan pemikir Suriah/Lebanon), Michel Aflaq (ideolog Partai Baath di Irak dan Suriah), Farah Antun (cendekiawan Kristen Koptik, Mesir), dan lain-lainnya, yang nota bene Kristen itu, mengklaim dengan penuh kebanggaan bahwa kegemilangan Islam adalah kegemilangan bangsa Arab.

 

sumber : Suara Muhammadiyah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement