Dan ketika orang itu kemudian diyakinkan suatu pandangan tertentu, dia cenderung menerima secara membuta semua pandangan lain yang dianut para filsuf.
Al-Ghazali, dalam pendahuluan bukunya, menggambarkan tipe orang ini sebagai "orang beriman dengan meniru, yang terburu-buru menerima kebohongan tanpa verifikasi dan penyelidikan."
Dia menambahkan bahwa tujuan buku ini adalah untuk menunjukkan dengan tepat ketidaksesuaian antara keyakinan (para filsuf) dan kontradiksi kata-kata mereka, sehubungan dengan teologi, dan untuk menunjukkan perubahan dan kekurangan cara berpikir mereka.
Dia membedakan antara filsafat dan logika di satu sisi dan fisika dan matematika di sisi lain. Itulah ketidaksesuaian dalam filsafat yang akan dibedah Al-Ghazali dalam bukunya. Gagasan bahwa Al-Ghazali menciptakan kebencian di kalangan Muslim terhadap sains telah dikemukakan akademisi modern.
Tidak ada sarjana Muslim pada saat itu yang menganjurkan pandangan menentang sains karena tesis Al-Ghazali. Sebaliknya, bahkan orang-orang sezamannya mencatat bahwa al-Ghazali tetap setia pada filsafat sampai hari kematiannya. Mereka mencatat setelah kematiannya bahwa 'tuan kami menelan filosofi dan tidak dapat membuangnya'.
Perguruan tinggi di sisi lain, menahan inovasi ilmiah dengan berfokus pada studi agama untuk mencapai tujuan politik. Warisan mereka berlanjut hingga hari ini. Mereka secara luas dipuji ulama Sunni atas peran mereka dalam menahan pengaruh Batiniyya dan dominasi Islam Sunni.
Mereka yang berada di dunia Muslim kontemporer yang meremehkan inovasi memiliki kualitas yang berbeda dengan perguruan tinggi Nizamiyya: menjadi sektarian yang terobsesi untuk membersihkan Islam dari praktik bermodel baru.
Tidak ada satu alasan pun untuk merosotnya penelitian ilmiah Islam. Tetapi penting untuk menyoroti peran kolosal yang dimainkan perguruan tinggi Nizamiyya dalam menghambat kemajuan, karena peran Islam lagi-lagi di bawah pengawasan dan intoleransi agama muncul ke permukaan.
Sumber: qantara