REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Agama Islam mengajarkan umat manusia untuk selalu melakukan amal baik dengan ikhlas. Akan tetapi amal baik tersebut jangan dinodai oleh perasaan atau sikap riya.
Sebagaimana yang disampaikan Syekh Ibnu Atha'illah dalam Kitab Al-Hikam bahwa amal perbuatan itu sebagai kerangka yang tegak, sedangkan ruh atau jiwanya ada pada rahasia ikhlas dalam melakukan amal perbuatan itu.
Mengutip terjemah Al-Hikam karya Ustaz Bahreisy dijelaskan bahwa keikhlasan seseorang melakukan amal perbuatan memiliki tingkat kedudukan. Pertama, keikhlasan seorang abrar, yaitu amal perbuatan seseorang yang telah bersih dari riya yang jelas maupun samar.
Tujuan amal perbuatan seorang abrar selalu hanya untuk pahala yang dijanjikan oleh Allah kepada hamba-Nya yang ikhlas. "Hanya kepada-Mu kami menyembah dan kami tidak mempersekutukan Engkau dalam ibadahku ini kepada sesuatu yang lain." Makna ini diambil dari ayat Iyyaakana 'budu.
Kedua, keikhlasan seorang muqarrabin. Dalam melakukan amal perbuatan mereka menerapkan makna Laa haula walla quwwata illaa billaahi. Artinya tidak ada daya untuk menolak, tidak ada kekuatan untuk berbuat apapun kecuali atas pertolongan langsung dari Allah, tidak ada daya kekuatan sendiri, dan semua itu atas kehendak Allah.
Seorang muqarrabin merasa bahwa semua amal perbuatannya semata-mata atas karunia Allah kepadanya. Sebab hanya Allah yang memberi hidayah dan taufik. "Hanya kepada-Mu kami mengharap bantuan pertolongan, sebab kami sendiri tidak berdaya." Makna ini diambil dari ayat Iyyaaka nasta'iin.
Amal seorang abrar dinamakan amal lillah, artinya beramal karena Allah. Amal seorang muqarrabin dinamakan amal billahi, artinya beramal dengan bantuan karunia Allah.
Amal lillah memperhatikan hukum lahir, sedangkan amal billahi menembus ke dalam perasaan atau hati. Seorang guru berkata, perbaikilah amal perbuatanmu dengan ikhlas, dan perbaikilah keikhlasanmu itu dengan perasaan tidak ada kekuatan sendiri, semua kejadian itu hanya terjadi karena bantuan Allah Ta'ala.