Rabu 13 Jan 2021 21:42 WIB

Tiga Nilai Dasar Fiqih Difabel (1)

Muhammadiyah menyusun tiga dasar fiqih difabel.

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Muhammad Hafil
Tiga Nilai Dasar Fiqih Difabel (1). Foto: Tongkat untuk difabel. Ilustrasi
Foto: Reuters
Tiga Nilai Dasar Fiqih Difabel (1). Foto: Tongkat untuk difabel. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Muhammadiyah telah menyusun suatu pedoman yang disebut Fikih Difabel. Penggunaan istilah difabel di sini untuk menunjukkan posisi Muhammadiyah bahwa pada dasarnya, setiap makhluk yang Allah ciptakan memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Meski istilah ‘difabel’ merupakan terminologi modern yang tidak dikenal dalam Alquran, Hadits, atau sumber klasik Islam lain.

Namun Alquran memuat kata yang banyak dipakai adalah yang merujuk pada suatu jenis difabel tertentu, misalnya a’ma, ‘umyun (tunanetra), a’sam (tuli), abkam atau akhrash (tidak bisa bicara/bisu), a’raj (lumpuh), dan majnun (orang dengan gangguan mental). Dalam beberapa ayat, difabel juga diklasifikasikan sebagai bagian dari kelompok lemah atau dilemahkan oleh sistem (mustad’afin), kelompok miskin dan membutuhkan pertolongan dalam akses (masaakin).

Baca Juga

Adapun disusunnya Fiqih Difabel Muhammadiyah merupakan respon Muhammadiyah terhadap persoalan sosial-keagamaan yang dalam pelaksanaannya tidak selalu dilihat dari segi hukum taklifi (halal-haram). Istilah ‘fiqih’ dalam Muhammadiyah dikembalikan ke makna aslinya, yaitu totalitas pemahaman terhadap ajaran Islam yang tersusun dari norma berjenjang.

Dalam Muhammadiyah, norma berjenjang dijadikan sebagai basis dalam membangun paradigma fikih Muhammadiyah. Jenjang norma tersebut meliputi nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah), prinsip-prinsip universal (al-ushul al-kulliyah), dan ketentuan hukum praktis (al-ahkam al-far’iyyah). Adanya jenjang norma ini menjadikan fikih Muhammadiyah lebih cair dan lentur, tetapi dapat menyapa berbagai masalah kekinian secara arif.

Dalam Pengajian Tarjih pada Rabu (30/12), Penanggung Jawab dan Penyusun Fiqih Difabel, Ali Yusuf menerangkan bahwa gagasan Fikih Difabel yang disusun Majelis Tarjih dibangun dengan mengikuti struktur norma dan tiga nilai-nilai dasar, yaitu tauhid, keadilan, dan kemaslahatan.

Pertama, nilai tauhid, nilai paling esensial dalam ajaran Islam. Nilai dasar tauhid meniscayakan bahwa eksistensi alam semesta hanya berinti pada Allah. Sebagai inti, tauhid merupakan unsur yang menjadi tingkatan tertinggi yang menjadi basis inspirasi dari perilaku dan gerakan-gerakan yang dilakukan umat. Nilai-nilai tauhid membawa pada keyakinan bahwa segala yang ada di alam semesta ini merupakan ciptaan Allah. Hal ini termaktub dalam Al-Baqarah ayat 117 dan Al-Thalaq ayat 12.

"Peran Allah untuk makhluk-Nya tidak hanya mencipta, melainkan juga mengatur segala detail ciptaan-Nya mulai dari bentuk fisik sampai nasib. Hal tersebut tercermin dalam QS. al-Ḥasyr ayat 24 dan QS. al-Insan ayat 30. 'Jika kita mendapati orang yang memiliki keterbatasan fisik, tentu ini bukan keinginan dirinya,'" kata Ali yang dikutip di Muhammadiyah.or.id.

"Prinsip tauhid juga mengakui adanya pluralitas fisik, sehingga mendorong kesetaraan manusia di hadapan manusia lainnya. Baik difabel maupun bukan, keduanya dipandang setara sebagai makhluk ciptaan Allah. Prinsip ini membawa implikasi bahwa seseorang harus berlaku adil kepada siapapun sebagaimana yang tertulis di dalam Al-Nahl ayat 90," sambungnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement