REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: M Muchlas Abror
JAKARTA -- Nabi Muhammad SAW memberi keteladanan kepada para sahabatnya untuk wakaf. Pada mulanya yang mengikutinya ialah Umar bin Khaththab. Kemudian para sahabat lainnya menyusul wakaf juga.
Di antaranya Abu Bakar, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan Zubair bin Awwam. Apalagi pada zaman Khulafa ar-Rasyidin amalan berwakaf semakin banyak dilakukan. Selain bernilai ibadah kepada Allah juga dapat membantu kesejahteraan sosial. Wakaf dilakukan ketika mereka berada di Madinah.
Setelah Nabi Muhammad saw hijrah dari Makkah ke Madinah. Kemudian para sahabatnya, secara bertahap, juga hijrah mengikuti beliau ke Madinah. Mereka hijrah meninggalkan kota kelahiran tanpa membawa apa-apa.
Mereka kemudian dikenal dengan sebutan sahabat Muhajirin. Kedatangan mereka di Madinah disambut sahabat Anshar (penduduk Madinah yang beragama Islam) dengan senang hati, ramah, dan penuh ketulusan. Mereka tiada beda dan sudah dianggap sebagai saudara sendiri.
Kaum Muhajirin selagi di Madinah menghadapi persoalan kesulitan memperoleh air bersih. Apalagi sewaktu di Makkah sudah biasa minum air Zamzam.
Kaum Anshar juga merasakan karena air bagi manusia termasuk kebutuhan pokok. Sebenarnya, di Madinah banyak air.
Hanya yang memiliki sumur dengan air yang melimpah di kota ini adalah orang Yahudi. Setelah mendengar ada laporan tentang itu, Nabi saw lalu menemui orang itu. Beliau menyatakan ingin memiliki sumur itu dengan menggantinya dengan kebun yang luas. Namun, pemilik sumur menolak. Kecuali kalau sumurnya dibeli.
Utsman bin Affan, salah seorang sahabat beliau, lalu mencoba mengadakan kontak langsung dengan pemilik sumur. Kedatangannya, suatu hari, menemui pemilik sumur menyatakan ingin membeli sumurnya.
Ia menjawab, kalau mau membeli hanya air pada setengah sumurnya saja. Sebab, tidak seluruh sumurnya akan dijual. Atau kalau mau menyewa, ya silakan. Akhirnya dicapai kesepakatan, Utsman mau membeli air setengah sumur.