Senin 19 Oct 2020 22:38 WIB

Siapa yang Dianggap Sebagai Pelopor Ilmu Tasawuf?

Abdu Abdullah al-Harits al-Muhasibi dianggap sebagai pelopor lahirnya ilmu tasawuf.

Rep: Muhyiddin/ Red: Muhammad Hafil
Siapa yang Dianggap Sebagai Pelopor Ilmu Tasawuf?. Foto: Tasawuf (ilustrasi)
Foto: Blogspot.com
Siapa yang Dianggap Sebagai Pelopor Ilmu Tasawuf?. Foto: Tasawuf (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Abdu Abdullah al-Harits al-Muhasibi dianggap sebagai pelopor lahirnya ilmu tasawuf. Al-Muhasibi lahir di Bashrah pada 165 H/781 M. Ayahnya merupakan penganut aliran Muktazilah yang gigih mendakwahkan pemikiran rasionalnya.

Saat masih kecil, ayahnya membawanya hijrah ke Baghdad  dan di sana dia belajar fikih, hadits, ilmu Alquran, kalam, dan terakhir tasawuf. Dia mendapat julukan Al-Muhasibi lantaran senang melakukan muhasabah. Al-Muhasibi meninggal di Badhdad pada 234 H/857 M.

Baca Juga

Semasa hidupnya, al-Muhasibi mencoba menawarkan dimensi moral dalam Islam, seperti kezuhudan, untuk disetarakan sebagai sebuah pengetahuan yang utuh dan sistematis seperti ilmu fikih dan hadis yang sudah lebih dahulu terbentuk. Ia berupaya membangun keilmuan baru dalam Islam yang kemudian dikenal sebagai tasawuf.

Abdul Kadir mengatakan, semangat rasional yang dimiliki Al-Muhasibi mendorongnya untuk melahirkan banyak gagasan mengenai ilmu tasawuf. Gagasannya tersebut dia tuangkan dalam beberapa karyanya seperti al-Wasaya dan al-Ri’ayah lil Huquq Allah dan sebagian ada di kitab Mahiyat al-Aql serta kitab Fahm Alquran dan Ma’anihi.

Karya-karya tersebut merupakan prestasi besar al-Muhasibi yang sulit ditandingi karena ia hidup di era awal yang sangat jarang munculnya karya ilmiah. Di saat orang-orang masih berpikir tekstual terhadap agama, al-Muhasibi sudah melangkah jauh dan berpikir ke depan.

Al-Muhasibi adalah sosok yang cerdas dan cerdik. Dia membungkus ilmu kalam, filsafat dan tasawuf dengan simbol-simbol fikih. Dia kerap menggunakan terma-terma hukum fikih untuk menjelaskan persoalan teologis, filosofis, dan spiritualitas. Dia berangkat dari fikih, lalu bergerak maju ke ranah filsafat dan menjadikan tasawuf sebagai tujuannya.

Tasawuf al-Muhasibi disebut sebagai tasawuf Sunni dan sesuai dengan Alquran dan Hadits. Dia mendapat label “kesesuaian dengan Alquran dan hadits” karena mampu membangun tasawuf berdasarkan norma-norma agama. Selain itu, karena dia juga mampu mengakomodasi kepentingan para pakar fikih.

Setelah al-Muhasibi, upaya untuk menyejajarkan tasawuf dan ilmu keislaman lainnya dilakukan oleh Abu Nasr al-Sarraj. Dialah orang pertama yang dengan tegas mengatakan bahwa tasawuf adalah bagian dari Islam. Tidak ada kesesatan dalam tasawuf.

Dia mengatakan, apabila ada seseorang mempunyai persoalan yang terkait dengan landasan, hakikat, dan hukum, maka selayaknya dia bertanya kepada ulama yang ahli di bidangnya, misalnya ulama ahli hadis, fikih, dan tasawuf.

Corak keilmuan yang ditangkap oleh al-Muhasibi kemudian juga menjadi petunjuk bagi al-Ghazali ketika menyusun Ihya Ulumuddin, karya al-Ghazali yang sangat terkenal dalam khazanah pemikiran Islam dan banyak diajarkan di pesantren-pesantren Indonesia.

Dalam kitab “Al-Kawakib al-Durriyah fil Tarajum al-Saddat al-Sufiyah”, Zainuddin Muhammad Abdul Rauf al-Manawi menulis bahwa dalam banyak kesempatan al-Ghazali telah mengakui al-Muhasibi sebagai “guru terbaiknya”, terutama dalam hal pendekatan dan metodologi. Sementara, dalam hal pendalam materi, guru terbaik al-Ghazali adalah al-Makki yang menulis kitab “Qut al-Qulub”.

Dalam membangun ilmu tasawuf, al-Muhasibi menggunakan pendekatan rasional, sehingga tak heran jika ada sejumlah tokoh terdahulu yang tidak setuju dengan gagasannya tersebut. Di antaranya adalah Ahmad bin Hanbal, yang menggunakan pendekatan literal dalam memahami Islam.

Ahmad bin Hanbal yang terkenal di bidang Fikih menuduh pemikiran al-Muhasibi sebagai sesat dan bid’ah. Penilaian ini diberikan karena pendekatannya yang tidak tekstualis sehingga dianggap melenceng dari Alquran dan hadits.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement