Selasa 20 Oct 2020 04:15 WIB

Peranan Tarekat dalam Memobilisasi Massa

Tarekat memainkan peran penting dalam memobilisasi massa.

Peranan Tarekat dalam Memobilisasi Massa. Foto: Jamaah Tarekat Syattariah melaksanakan shalat Idul Fitri 1441 Hijriah di halaman Masjid Syaikhuna Habib Muda Seunagan Desa Peuleukung, Seunagan Timur, Nagan Raya, Aceh, Sabtu (23/5/2020). Jamaah Syattariah melaksanakan shalat Idul Fitri lebih awal dari jadwal yang telah ditetapkan Pemerintah karena didasarkan pada metode hisab Urfi Khumasi atau bilangan lima dalam kitab Tajul Muluk yang dianut jamaah Syattariah.
Foto: Antara/Syifa Yulinnas
Peranan Tarekat dalam Memobilisasi Massa. Foto: Jamaah Tarekat Syattariah melaksanakan shalat Idul Fitri 1441 Hijriah di halaman Masjid Syaikhuna Habib Muda Seunagan Desa Peuleukung, Seunagan Timur, Nagan Raya, Aceh, Sabtu (23/5/2020). Jamaah Syattariah melaksanakan shalat Idul Fitri lebih awal dari jadwal yang telah ditetapkan Pemerintah karena didasarkan pada metode hisab Urfi Khumasi atau bilangan lima dalam kitab Tajul Muluk yang dianut jamaah Syattariah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tarekat telah memainkan peran penting sejak dalam proses penyebaran Islam di Indonesia. Di Jawa, Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia (2008), menjelaskan, proses Islamisasi berlangsung mulai dari kawasan pesisir pantai utara Jawa, bergerak perlahan ke arah pedalaman lewat jalur tarekat dan pesantren, hingga akhirnya mampu membentuk tatanan sosioreligius yang kokoh. Munculnya basis-basis komunal masyarakat Islam ini ditandai dengan berdirinya pesantren-pesantren dan tarekat.

Menurut Martin van Bruinessen dalam Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat, beberapa sumber pribumi secara tegas mengemukakan, tarekat pertama-tama mendapatkan pengikut di lingkungan istana, kemudian baru merambah ke kalangan masyarakat luas. Ia mencontohkan para pengarang sufi di Sumatra, seperti Nuruddin ar-Raniri, Syamsuddin as-Sumatrani, dan Hamzah Fansuri yang bekerja di bawah lindungan kerajaan.

Baca Juga

Pertumbuhan tarekat selama abad ke-19 berkaitan dengan meningkatnya jumlah orang Muslim Indonesia yang menunaikan ibadah haji. Banyak jamaah haji yang bergabung dengan tarekat tertentu di Makkah, sebagian di antaranya mendapatkan ijazah untuk mengajarkan tarekat mereka. "Perasaan antikolonial dan tarekat sering kali menyebar secara bersama-sama, yang pastilah mempunyai andil dalam keterlibatan tarekat pada saat-saat tertentu sebagai gerakan protes ekonomi dan politik," ujar sejarawan Belanda ini menambahkan.

Pemberontakan-pemberontakan yang melibatkan tarekat terjadi dalam rentang waktu antara awal abad ke-19 dan awal abad ke-20. "Sebagian di antaranya adalah gerakan menentang masuknya pemerintah kolonial, sedangkan pemberontakan lain menentang peraturan-peraturan tertentu yang diterapkan pemerintah atau respons terhadap kemerosotan kehidupan ekonomi masyarakat dan penindasan," catat van Bruinessen. Tarekat menyediakan jaringan untuk melakukan komunikasi antardaerah dan mobilisasi, di samping teknik-teknik spiritualnya yang diyakini memberikan perlindungan dan kekuatan magis.

Salah satu gerakan tarekat melawan kolonialisme diserukan oleh Syekh Abdussamad al-Palimbani. Al-Palimbani adalah ulama abad ke-18 asal Palembang yang juga pemimpin Tarekat Sammaniyah. Van Bruinessen menuturkan, sebuah karya sastra berjudul "Syair Perang Menteng" dari daerah setempat mengisahkan bagaimana tarekat ini memainkan peran dalam perlawanan terhadap pendudukan kota oleh tentara Belanda pada 1819. Beberapa kelompok berpakaian putih berzikir keras sampai mencapai ekstase, kemudian tanpa rasa gentar maju menyerang musuh. Mereka meyakini tubuh mereka telah kebal lantaran zikir itu.

Tarekat Sammaniyah di Palembang dibawa oleh murid-murid al-Palimbani pada pengujung abad ke-18. Syekh al-Palimbani dikenal sebagai pengarang "Sair as-Salikin" dan "Hidayah as-Salikin", dua karya sastra tasawuf Melayu yang penting. Ia menetap di Makkah dan mengajarkan tarekat kepada orang-orang Indonesia yang ada di sana. Untuk mengobarkan semangat antikolonial para pengikutnya, Syekh al-Palimbani juga mengarang risalah berbahasa Arab berjudul "Fada'il al Jihad" (Keutamaan Jihad).

Lebih menarik lagi, catat van Bruinessen, Syekh al-Palimbani juga menulis surat kepada Sultan Hamengkubuwono I dan Susuhunan Prabu Jaka, putra Amangkurat IV. Surat itu berisi dorongan untuk terus berjihad melawan kaum kafir, sebagaimana para sultan Mataram sebelumnya.

Namun, Azyumardi Azra menambahkan dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, imbauan lewat surat itu tidak berhasil karena Belanda lebih dulu berhasil menyadap (mengintersepsi) surat-surat al-Palimbani. "Syekh Abdussamad rupanya seorang sufi yang tidak mengabaikan urusan dunia, bahkan mungkin boleh disebut militan. Tidak mengherankan kalau murid-muridnya yang ahli tarekat juga siap untuk berjihad fisik," tulis van Bruinessen.

Lebih dari satu abad sebelumnya, sudah ada seorang ulama dan ahli tarekat berpengaruh yang memimpin gerilya melawan kompeni. Tidak lain, Syekh Yusuf al-Makassari. Seperti diceritakan Azra, Syekh Yusuf lahir di Kerajaan Goa dan menempuh pendidikan ke Arab dalam usia muda. Sekembali dari Makkah, ia memilih tinggal di Banten. Di sana, Syekh Yusuf menjadi penasihat utama Sultan Ageng Tirtayasa.

Ketika Sultan Haji memberontak bersama kompeni, Syekh Yusuf berada di pihak Sultan Ageng Tirtayasa. Bersama pengikutnya, al-Makassari melakukan gerilya di hampir seluruh wilayah Jawa Barat. Ia memimpin perlawanan dan bertahan nyaris dua tahun sebelum dibuang ke Ceylon. Namun, pembuangan gagal memutuskan kontak al-Makassari dengan dunia luar. Di Ceylon, ia tetap menjalin hubungan dengan ulama-ulama lain.

Di tempat itu pula, al-Makassari menghasilkan sebagian besar karyanya. Kontaknya dengan jamaah haji Melayu Indonesia menjadikan Sri Lanka sebagai tempat transit dalam perjalanan dari dan ke Makkah. Mengetahui aktivitas itu, ia dibuang ke Cape Town, Afrika Selatan, pada 1693.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement