REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Memiliki istri lebih dari satu (poligami) sangat rentan jika suami tidak bisa memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya.
Sebagai suatu perbuatan yang berisiko untuk jatuh kepada pelanggaran syariat, maka seseorang yang hendak berpoligami mesti memenuhi syarat kebolehannya.
Isnan Ansory, dalam bukunya Silsilah Tafsir Ahkam: QS An-Nisa’: 3 (Poligami) menyampaikan minimal ada tiga syarat suami boleh nikah lagi. Pertama, mampu secara finansial.
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
"Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya."(QS. An-Nur: 33).
Kedua, tidak lebih dari empat orang istri. Hal ini sebagaimana penegasan surat an-Nisa' ayat 3:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. … (QS An-Nisa’: 3)
Ketiga, dapat berlaku adil. Dasar penetapan syarat ini, selain QS An-Nisa’ ayat 3 dan 129, juga berdasarkan hadits berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ
Dari Abu Hurairah: Nabi SAW bersabda: “Barang siapa yang memiliki dua orang istri dan dia lebih condong kepada salah seorang di antara mereka maka dia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan salah satu sisinya miring.” (HR Nasa’i dan Hakim)
Sedangkan maksud adil dalam syarat ini adalah adil dalam pembagian nafkah. Di dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, dijelaskan maksud adil dalam sistem poligami. Menyamakan hak-hak para istri dalam masalah qasam (keempat tinggal serumah), nafkah, dan kiswah (pakaian).
Di samping ketiga syarat di atas yang juga diakui dan diadopsi di dalam Kompilasi Hukum Islam yang berlaku di NKRI, pemangku kebijakan di negeri ini juga menambahkan dua syarat lainnya yang bersifat perdata. Yaitu izin tertulis dari pengadilan agama dan persetujuan tertulis dari istri.