REPUBLIKA.CO.ID, Sebelum Rasulullah SAW lahir pada 12 Rabi'ul Awwal Tahun Gajah (571 Masehi), bangsa Arab hidup dalam kabilah-kabilah dengan fanatisme kesukuan yang kuat. Semangat fanatisme itu kadang kala hanya di dasarkan pada emosi yang menyulut konflik tanpa berpikir jernih.
Seorang pemimpin kabilah tidak segan-segan memaklumkan perang terhadap kabilah lain bilamana merasa tersinggung akan sebuah persoalan.Pada akhirnya, rakyat biasa dapat menjadi korban kepentingan politik kekuasaan.
Bahkan, sebelum risalah kenabian datang, sosok Nabi Muhammad SAW sudah menampilkan keteladanan dalam berpikir jernih. Hal ini tampak dari peristiwa renovasi Ka'bah di Makkah, sebagaimana diuraikan Nur Kholis (2002) dalam disertasinya untuk McGill University Kanada. Saat itu, Nabi Muhammad SAW baru berusia 35 tahun. Masyarakat Makkah hampir selesai mem perbaiki Ka'bah agar dapat difungsikan kembali sebagai pusat kegiatan spiritual.
Masalah mulai terasa ketika Hajar al-Aswad hendak dibawa ke tempatnya semula pada dinding Ka'bah. Setiap pemimpin kabilah bersikeras untuk meletakkan kembali Hajar al-Aswad sebagai tanda kehormatan. Perang antarkabilah mungkin saja terjadi bila tidak ada dialog.
Para pemimpin kabilah akhirnya menyepakati bahwa siapa pun yang pertama kali memasuki Ka'bah esok pagi hari itu berhak menengahi persoalan mereka. Ternyata, orang itu adalah Nabi Muhammad SAW. Semua pemimpin kabilah tampak gem bira begitu mengetahui Sang al-Amin menjadi penengah mereka. Sejak belia, Nabi Muhammad SAW sudah dikenal masyarakat Makkah sebagai orang yang adil dan terpercaya.
Setelah menyimak persoalan mereka, Nabi Muhammad SAW membentangkan sorbannya dan menaruh Hajar al-Aswad di atas sorban itu. Alih-alih membawa batu mulia itu sendirian, Nabi Muhammad SAW mengajak setiap tokoh dari kabilah-kabilah yang berbeda untuk memegang ujung sorban itu.
Dengan begitu, setiap kabilah sama- sama meletakkan Hajar al-Aswad ke tempat semula. Demikianlah Rasulullah SAW secara halus mengajarkan kepada mereka untuk mengatasi masalah tanpa menimbulkan persoalan baru.
Rasulullah SAW juga mengajarkan apa- apa yang pada zaman kini diistilahkan demokrasi. Sebelum Islam menyebar luas, masyarakat Jazirah Arab memberlakukan piramida sosial secara ketat. Seorang budak dilucuti hak-haknya sebagai manusia. Anak perempuan dikubur hidup-hidup karena dipandang sebagai aib ayahnya. Tidak ada hukum kecuali si kaya dan berkuasa bersikap sekehendak hati terhadap kaum miskin dan lemah. Kesamaan hak sama sekali tidak dikenal.
Putra Abdullah ini menunjukkan bahwa setiap manusia berkedudukan sama di hadapan Allah. Pembedanya hanyalah iman dan ketakwaan. Rasulullah SAW meluruhkan kasta-kasta sosial yang selama ini membelenggu masyarakat Arab.