REPUBLIKA.CO.ID, Pada zaman Nabi Muhammad SAW, belum banyak wilayah di Benua Afrika yang disinari Islam. Dakwah agama ini masih sebatas kawasan Tanduk Afrika (Horn of Africa), tepatnya Habasyah sebutan Arab untuk Kerajaan Aksum. Barulah pada era Khulafaur Rasyidin, syiarnya melebar ke Afrika Utara.
Ekspansi Islam terus berlanjut hingga masa Kekhalifahan Umayyah pada abad ketujuh. Pada 681 M, al-Maghrib al-Aqsha alias Maroko akhirnya menjadi bagian dari kedaulatan Muslim. Pada 744 M, persekutuan suku-suku Berber Barghawata terbentuk di pesisir Maroko. Aliansi ini lantas terlibat dalam pemberontakan Khawarij Shufriyah untuk melawan Khalifah Hisyam bin Abdul Malik, penguasa Dinasti Umayyah kala itu. Kudeta lokal tersebut berjalan sukses sehingga Barghawata dapat membentuk negara-kota yang independen di sekitar Rabat.
Beberapa tahun kemudian, Anfus berhasil direbut. Nama bandar tersebut dipulihkan menjadi Anfa, sebagaimana dahulu bangsa Berber menamakannya. Dalam catatan Leo Africanus, selama tiga abad Barghawata menjadikan Anfa sebagai kota paling makmur di seluruh pantai Atlantik. Salah satu penyebabnya, lanjut dia, ialah masyarakat setempat yang begitu produktif dalam mengolah kesuburan tanahnya.
Sebelumnya, Barghawata sudah menjadi salah satu kelompok Berber yang memeluk Islam. Bagaimanapun, keislaman mereka cenderung sinkretis karena masih mencampurbaurkan ajaran Alquran dan sunnah Rasulullah SAW dengan kepercayaan lokal. Bahkan, pada masa raja kedua mereka, yakni Shalih bin Tharif, penyimpangan yang terjadi lebih jauh lagi. Menurut sumber Ibnu Khaldun (1332-1406 M), Kerajaan Barghawata saat itu mengarang mushaf Alquran mereka sendiri, yang terdiri atas 80 surat dan berbahasa Berber. Shalih sampai-sampai mendaku dirinya sebagai nabi baru atau Imam Mahdi.
Pada abad ke-11, Anfa jatuh ke dalam genggaman Dinasti al-Murabithun atau Almoravid. Kerajaan yang berpusat di Marrakesh itu memerlukan waktu 80 tahun sebelum dapat sepenuhnya menghalau Barghawata dari kota pelabuhan tersebut. Sultan al-Murabithun Abdul Mu`min (1094-1163 M) lantas mengisi populasi Anfa dengan suku-suku Arab Badui, terutama dari kalangan Bani Hilal dan Bani Sulaym.
Umur Kerajaan al-Murabithun hanya 100 tahun. Setelah gagal memadamkan berbagai pemberontakan, kekuasaannya tergantikan oleh Dinasti al-Muwahhidun pada April 1147 M. Kesultanan yang diperintah bangsa Berber Muslim itu tidak hanya menguasai Maroko, tetapi juga sebagian Andalusia (Spanyol). Anfa menjadi salah satu pelabuhan andalan mereka dalam menyokong perekonomian dan pertahanan negeri.
Memasuki pertengahan abad ke- 13, al-Muwahhidun semakin tidak sanggup mengatasi persoalan separatisme di daerah-daerah kekuasaan nya. Keadaan yang lemah itu dimanfaatkan Bani Marin untuk merebut pusat pemerintahan. Pada 1244, berakhirlah riwayat al-Muwahhidun. Dinasti Marinid berkuasa hingga dua abad berikutnya atas seluruh Maroko, termasuk Anfa.
Sepanjang abad ke-14, Anfa kian tumbuh menjadi kota pelabuhan yang makmur di kawasan utara Benua Hitam. Berbagai komoditas diper dagangkan di sana, seperti emas, perak, rempah-rempah, dan budak belian. Pada permulaan abad ke-15, Dinasti Marinid mulai kehilangan kontrol atas bandar tersebut. Anfa kemudian dikuasai kelompok bajak laut dari suku bangsa Berber.
Mereka sering kali merompak ar mada kapal non-Muslim yang melewati perairan utara Maghribi. Kala itu, sejumlah bangsa Eropa- Kristen begitu antusias untuk menemukan jalur rempah-rempah ke Asia. Bangsa Portugis termasuk yang paling sering melayarkan armada untuk mencapai India melalui rute Iberia-Tanjung Harapan di Afrika Selatan. Dalam perjalanannya, mereka kerap dihalangi para bajak laut, termasuk yang bermarkas di Anfa.
Pada 1468, kota tersebut akhirnya diserang Portugis. Atas perintah Raja Afonso V, bandar tersebut dibuat rata dengan tanah. Sekitar 50 tahun kemudian, kerajaan Katolik itu membangun sebuah benteng militer di pantai Anfa. Setelah itu, kawasan perdesaan mulai tumbuh di area sekitarnya. Para pendatang mendirikan rumah-rumah dengan warna dominan putih. Orang-orang Portugis pun menyebut daerah itu Casa Branca, yang berarti 'rumah putih.' Dalam bahasa Spanyol, sebutan itu menjadi Casa Blanca. Dari sanalah nama Kasablanka berasal.
Tidak seperti para penguasa Portugis sebelumnya, Raja Sebastian (1554-1578 M) tak cukup berdaya untuk mengatasi kekuatan Muslim di Afrika Utara. Bangsa Katolik itu akhirnya kalah dalam Perang Alcacer Quibir pada 1578 di Maroko utara. Dinasti Saadi kemudian menguasai sebagian besar al-Maghrib al-Aqsha, termasuk Kasablanka. Selanjutnya, Spanyol mencaplok sebagian Maroko. Antara tahun 1580 dan 1640, kota pesisir itu menjadi menjadi salah satu sumber pemasukan utama kerajaan Katolik saingan Portugis tersebut.
Namun, pamor Kasablanka mulai surut sejak akhir abad ke-17. Pada medio abad ke-18, semakin sedikit orang Spanyol yang menetap di bandar itu. Sekitar tahun 1755, gempa bumi mengguncang Kasablanka dan sekitarnya. Pelabuhan yang dahulunya menjadi rebutan berbagai rezim penguasa, kini terbengkalai dan sepi.