REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ustadz Yendri Junaidi, Lc MA
Pindahnya Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan para sahabat dari Makkah ke Madinah; atau yang dikenal dengan hijrah, sesungguhnya tidak tepat jika disebut sebagai ‘peristiwa’ atau ‘event’. Karena yang namanya peristiwa, biasanya berdiri sendiri, terpisah, dan bisa dideteksi mana awal dan mana akhir.
Lahirnya Nabi صلى الله عليه وسلم adalah event. Diutusnya Nabi صلى الله عليه وسلم juga event. Kemenangan dalam perang Badar, penaklukkan kota Mekah dan sebagainya, semuanya adalah event.
Sementara hijrah bukanlah event (الحدث). Ia adalah masirah (المسيرة), perjalanan dan perjuangan panjang membentang yang menjadi bukti bahwa umat ini tetap hidup.
Barangkali ini diantara alasan mengapa para sahabat, di bawah komando mulhamul ummah, Umar bin Khattab رضي الله عنه menetapkan hijrah sebagai awal penanggalan Islam.
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: «مَا عَدُّوا مِنْ مَبْعَثِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلاَ مِنْ وَفَاتِهِ، مَا عَدُّوا إِلَّا مِنْ مَقْدَمِهِ المَدِينَةَ» (رواه البخاري
Dari Sahal bin Sa’ad RA, ia berkata : “Mereka (para sahabat) tidak memulainya dari awal diutusnya Nabi صلى الله عليه وسلم. Tidak juga dari hari wafatnya. Mereka memulainya sejak kedatangannya di Madinah.”
Jika standarnya adalah hari lahir Nabi maka akan ada yang menilai bahwa sejarah umat ini bergantung pada figur seorang tokoh.
Jika standarnya adalah hari wafatnya Nabi maka umat yang seharusnya memberikan kebahagiaan dan kegembiraan pada seluruh manusia akan selalu diingatkan pada duka dan kesedihan.
Jika standarnya adalah kemenangan dalam berbagai perang maka umat yang seharusnya rendah hati dan mau belajar dari berbagai kegagalan, akan selalu diingatkan pada sesuatu yang berpotensi membuatnya lupa diri dan suka berbangga-bangga.
Tapi ia dimulai dengan hijrah yang tidak saja berbicara tentang seorang Muhammad صلى الله عليه وسلم, bagaimanapun agung dan mulianya sosok beliau, tapi tentang sejarah sebuah umat yang besar, yang pantang menggantungkan perjuangannya pada seorang tokoh atau figur sentral.
Memang, tidak ada lagi hijrah setelah penaklukkan Makkah, hijrah dalam pengertian awal yaitu berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Namun esensi hijrah tetap relevan sampai kapanpun.
Para pengemban amanah, mari hijrah dari mementingkan diri dan kelompok kepada mementingkan umat dan orang banyak.
Para orang tua dan guru, mari hijrah dari pola asuh dan cara didik yang keliru kepada pola asuh dan cara mendidik yang benar.
Generasi muda, mari hijrah dari kesenangan nafsu kepada kesenangan akal dan pengetahuan.
Bukan aib berubah dari satu pemikiran kepada pemikiran yang lain. Tak salah berubah dari satu pendapat kepada pendapat yang berbeda.
Yang aib adalah bersikeras dengan pendapat lama sementara berbagai argumen sangat jelas membuktikan kelemahannya. Yang memalukan adalah enggan menerima pemikiran yang lain hanya karena takut disebut tidak konsisten.
Mari mengkaji sejarah, baik sisi terang maupun sisi kelamnya. Yang terang untuk dikembalikan dan dipertahankan. Yang kelam untuk dihindari dan dicampakkan. Jadilah pembuat sejarah. Paling tidak mengerti sejarah. Jangan buta sejarah. بعض الناس يصنعون الأحداث ، وبعضهم يفكرون فى الأحداث ، وبعضهم لا يدرون ماذا يحدث
*Magister hadits Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Diniyyah Puteri Padang Panjang.