REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ustadz Yendri Junaidi, Lc MA
Suatu ketika, Imam Ishaq bin Rahuyah mengajak Imam Syafi’i, رحمهما الله, untuk berdiskusi tentang kulit binatang yang jadi bangkai lalu disamak (مدبوغ). Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله hadir dalam diskusi itu.
Imam Syafi'i berpendapat bahwa kulit tersebut suci. Imam Ishaq bertanya, “Dalilnya apa?”
Imam Syafi’i menjawab, “Hadits yang diriwayatkan az-Zuhri dari Ubaidullah bin Abdullah dari Ibnu Abbas RA, dari Maimunah RA bahwa Nabi SAW bersabda, “Mengapa tidak kamu manfaatkan kulitnya?”
Imam Ishaq berkata,“Hadits dari Ibnu ‘Ukaim: “Sebulan sebelum meninggal, Nabi SAW menulis kepada kami: “Jangan ambil manfaat dari bangkai, baik disamak maupun di-'ashar.” Hadits ini menasakh hadits dari Maimunah karena disampaikan sebulan sebelum Nabi wafat.”
Imam Syafi’i berkata, “Hadits Ibnu ‘Ukaim berbentuk kitab (tulisan), sementara hadits Maimunah berbentuk sama` (didengar langsung).” Tentu hadits yang diriwayatkan dari pendengaran langsung jauh lebih kuat dibandingkan hadits yang diriwayatkan dari tulisan.
Merespons ini, Ishaq berkata: “Nabi SAW menulis surat pada Kisra dan Kaisar. Surat tersebut menjadi hujjah terhadap mereka di sisi Allah.” Mendengar jawaban ini, Imam Syafii terdiam.
Imam Ahmad yang mendengarkan munazharah tersebut lebih cenderung menggunakan hadits Ibnu ‘Ukaim yang disampaikan Ishaq bin Rahuyah. Tapi yang unik, Imam Ishaq sendiri yang menyampaikan hadits itu rujuk dari pendapatnya dan lebih memilih hadits Maimunah yang disampaikan Imam Syafi'i.
Imam al-Khallal, salah seorang murid Imam Ahmad mengatakan bahwa akhirnya Imam Ahmad juga rujuk kepada hadits Maimunah. Artinya, ia kemudian berpendapat seperti gurunya, Imam Syafi'i.
Hadits Ibnu ‘Ukaim sekilas memang bisa dikatakan menasakh (menghapus) hadits Maimunah karena ia datang terakhir. Hanya saja hadits Ibnu ‘Ukaim ini mudhtharib (lemah) sehingga tidak kuat melawan hadits Maimunah.
Tapi yang menarik adalah mengapa Imam Syafii terdiam setelah mendengar jawaban dari Ishaq bin Rahuyah?
Imam Tajuddin as-Subki yang memuat kisah ini dalam Thabaqat-nya mengatakan, hal itu karena Imam Syafi'i tidak mencari ‘menang’ dalam sebuah munazharah (diskusi atau debat).
Yang ia cari adalah kebenaran. Ia tidak peduli, apakah kebenaran itu muncul dari dirinya atau dari ‘lawan’ debatnya. Ketika ia telah menyampaikan dalil dan argumentasi yang diketahuinya maka tugasnya sudah selesai. Ia tidak akan ‘ngotot’ untuk meyakinkan orang bahwa dalilnya yang lebih shahih atau argumentasinya yang lebih kuat.
Kalau kita yang ilmunya ‘nanggung’ mengikuti munazharah itu, mungkin akan langsung menduga bahwa ternyata Imam Syafii itu lemah dalam bidang hadits. Atau ternyata argumentasinya tidak kuat dan ia telah kalah.
Padahal, Ishaq bin Rahuyah sendiri yang dinilai sebagai ‘pemenang’ dalam munazharah itu, akhirnya mengambil pendapat Imam Syafii dan menjadikan hadits Maimunah sebagai dalilnya.
Imam as-Subki menambahkan, yang juga membuat Imam Syafi'i terdiam adalah ‘bantahan’ dari Ishaq bin Rahuyah ini sesungguhnya mengandung cacat ilmiah. Ishaq membantah hadits Maimunah yang diriwayatkan melalui sama’ dengan hadits Ibnu ‘Ukaim yang diriwayatkan melalui tulisan. Belum lagi kualitas hadits Ibnu ‘Ukaim yang masih dipertanyakan.
Tulisan atau surat yang dikirim Rasulullah SAW kepada Kisra dan Kaisar tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk menguatkan hadits Ibnu ‘Ukaim. Karena surat itu tidak berdiri sendiri.
Ia dikuatkan berbagai indikasi dan informasi yang tersebar secara mutawatir bahwa Muhammad SAW datang membawa agama yang benar dan mengajak manusia untuk bertauhid kepada Allah SWT. Jadi surat itu lebih sebagai penguat atau ajakan secara khusus kepada para penguasa itu untuk menerima ajakan Rasulullah SAW.
Karena bantahan yang disampaikan Ishaq bin Rahuyah ini ‘cacat' secara ilmiah maka respons yang paling tepat untuk itu adalah diam. Karena boleh jadi, diam jauh lebih tepat daripada bicara. Berikut ini sejumlah pelajaran yang bisa diambil dari kisah Imam Syafi’i di atas:
¤ Seorang alim tahu kapan mesti bicara kapan mesti diam
¤ Diamnya seorang alim tidak berarti ia kehabisan jawaban
¤ 'Kemenangan' dalam sebuah munazharah tidak diukur dari banyaknya dalil yang dikemukakan, melainkan kekuatan dan ketepatannya
¤ Menang dan kalah tidak ada dalam konsep munazharah para ulama. Yang ada adalah tampak atau tidak tampaknya kebenaran
¤ Imam Syafi'i yang terdiam tampak sebagai pihak yang kalah. Sementara Imam Ishaq yang tampak sebagai pihak yang menang, ternyata secara objektif lebih memilih untuk menggunakan dalil Imam Syafi'. رحمهم الله جميعا
(Kisah ini dimuat juga oleh Imam Murtadha az-Zabidi dalam kitabnya yang sangat fenomenal yaitu Ithaf Sadah Muttaqin Syarah Ihya` Ulumiddin dalam pembahasan tentang bagaimana seharusnya bermunazharah. Sangat recommended untuk dikaji secara serius)
*Magister hadits Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Diniyyah Puteri Padang Panjang.