REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ustadz Yendri JUnaidi, Lc MA
Polemik tentang ‘dimana Allah’ mungkin tak akan pernah berakhir. Bukan saja karena masing-masing pihak melihat dalil yang menjadi pegangannya lebih kuat, melainkan juga karena ada sentimen dan antipati kelompok yang berperan dalam memperlama umur perdebatan ini.
Tidak hanya di tingkat pengikut dan murid, bahkan di tingkat ulama dan tokoh sentral masing-masing pihak pun tak jarang terjadi saling lempar tuduhan dan tanabuz bil alqab dengan mengatakan pihak yang berbeda sebagai muta’ashib, mubtadi’, muta’annit, halik, kadzib, dan kata-kata kasar lainnya yang tak semestinya keluar dari mulut seorang ulama.
Sebagai sebuah diskusi dan adu argumentasi, sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari sebuah perdebatan, bagaimanapun panas dan tajamnya. Karena setiap orang yang memiliki ilmu tentang sesuatu, lalu melihat orang lain berbeda dengannya, biasanya ia akan terdorong untuk meluruskan orang tersebut dan menyampaikan apa yang menurut keyakinannya adalah sesuatu yang benar. Mungkin ia tidak berhasil merubah pola pikir atau pendirian orang yang didebatnya, tapi setidaknya jiwanya terasa lega dan nuraninya tenang ketika ia telah menyampaikan sedikit ilmu yang diketahuinya.
Dalam konteks inilah saya ingin ikut berbagi dalam perbincangan tema yang sedang hangat saat ini, khususnya seputar hadits jariyah yang juga menjadi fokus perdebatan tajam kedua belah pihak yaitu antara yang menetapkan arah terhadap Allah dan kelompok yang menafikannya.
Hadits jariyah adalah sebuah hadits panjang dari sahabat Nabi SAW bernama Mu’awiyah bin Hakam as-Sulami RA. Hadits ini sebenarnya menyinggung beberapa tema.
Tapi yang menjadi fokus kita adalah bagian yang terkait dengan budak wanita yang ditugaskan oleh tuannya; Mu’awiyah sendiri, untuk mengembala kambing. Entah bagaimana, ada seekor kambing yang dimangsa serigala. Mengetahui hal itu, Mu’awiyah sangat marah. Ia lalu menampar sang budak.
Tapi kemudian ia menyesal. Ia datang menemui Nabi dan menceritakan semuanya. Ia bertanya kepada Nabi, “Apakah sebaiknya aku merdekakan saja budak itu?” Nabi Saw meminta Mu’awiyah untuk menghadapkan budak itu padanya.
Nabi bertanya padanya: أَيْنَ اللهُ ؟ “Dimana Allah?” Budak itu menjawab: فىِ السَّمَاءِ “Di langit.” Rasulullah Saw bertanya lagi: “Siapa aku?” Ia menjawab, “Engkau adalah Rasulullah.” Kemudian Rasulullah bersabda pada Mu’awiyah bin Hakam: أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ “Merdekakan ia, karena ia seorang yang beriman.”
Hadits ini diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya, Imam Malik dalam Muwatha`, Imam Abu Dawud dalam Sunan, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya dan imam-imam yang lain.
Hadits ini menjadi salah satu dalil terkuat bagi mereka yang mengatakan bahwa Allah itu berada di langit, dan dalil kebolehan bertanya tentang ‘tempat’ Allah dengan menggunakan kata ‘dimana’.
Lantas bagaimana sebenarnya para ulama hadits memahami hadits ini? Secara umum ada ulama yang mengakui kesahihan hadits ini dan ada yang tidak. Mereka yang menerima kesahihan hadits ini, karena terdapat di dalam Shahih Muslim, mengkategorikan hadits ini sebagai hadits sifat. Sementara untuk ayat atau hadits yang berbicara tentang sifat-sifat Allah, ada dua cara memahaminya:
Pertama, mengimaninya secara apa adanya tanpa dibahas terlalu jauh apa makna dibaliknya, dengan tetap berpegang pada keyakinan utama bahwa tidak satupun yang serupa dengan Allah SWT, dan tetap mensucikan-Nya dari segala sifat dan karakteristik makhluk.
Kedua, mentakwilkannya dengan makna yang sesuai, sejalan dan pantas dengan keagungan dan kesucian Allah SWT.
Ulama yang cenderung pada cara kedua yaitu mentakwilkan, mengatakan bahwa maksud dari pertanyaan ‘dimana Allah’ adalah untuk menguji apakah budak wanita tersebut bertauhid dan mengakui bahwa Pencipta alam semesta ini adalah Allah SWT, yang ketika seseorang berdoa ia akan menghadap ke arah langit, sebagaimana halnya orang yang shalat a menghadap ke arah Ka’bah.
Ini tidak berarti bahwa Allah ‘bertempat’ di langit. Sama halnya ketika orang yang sedang sholat menghadap ke arah Ka’bah, tidak berarti bahwa Allah ‘berada’ di arah itu. Menghadapnya orang ke Ka’bah karena Ka’bah adalah arah kiblat shalat. Demikian juga, menghadapnya orang ke langit ketika berdoa karena langit adalah kiblat untuk berdoa. Imam Qadhi ‘Iyadh berkata :
لا خلاف بين المسلمين قاطبة فقيههم ومحدثهم ومتكلمهم ونظارهم ومقلدهم أن الظواهر الواردة بذكر الله تعالى في السماء كقوله تعالى أأمنتم من في السماء أن يخسف بكم الأرض ونحوه ليست على ظاهرها بل متأولة عند جميعهم
“Tidak ada perbedaan antara kaum muslimin seluruhnya, baik yang paham ilmu fiqih, hadits, kalam, nazhar, maupun yang taqlid, bahwa zahir nash yang menyebutkan bahwa Allah di langit seperti ayat: “Apakah kamu merasa aman dari Yang di langit…” dan sejenisnya, tidak boleh dipahami secara zhahir (tekstual), melainkan mesti ditakwilkan…” (Syarah Nawawi 5/24-25).