REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tidak semua orang memiliki keluarga yang seiman. Dalam beberapa kasus, seorang anak yang beragama Islam mempunyai orang tua yang masih non-Muslim. Bilamana keduanya wafat, bagaimanakah status warisnya?
Imam Malik dalam al-Muwaththa', begitu pula al-Baihaqi dalam as-Sunan meriwayatkan kisah berikut. Adalah bibi al-Asy'ats bin Qais yang beragama Yahudi meninggal dunia.
Lantas, al-Asy'ats menemui Khalifah Umar bin Khattab untuk meminta bagian harta warisan dari mendiang bibinya itu. Sang amirul mu`minin tidak mengizinkan al-Asy'ats untuk mewarisi dari harta bibinya, tetapi mengizinkan para ahli waris lainnya yang beragama Yahudi untuk mewarisinya.
"Tidak dapat mewarisi kecuali ahli waris yang seagama dengannya," demikian fatwa Umar.
Dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah, Umar mengatakan, “Yang mewarisi adalah yang seagama dengannya (mendiang). Setiap pemeluk agama mengikut kepada agama yang dipeluknya."
Abdurrazzaq dan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Yazid bin Qatadah al-'Uzza, ia berkata, “Ibuku yang beragama Nasrani meninggal dunia, sementara aku beragama Islam. Ia meninggalkan harta warisan sebanyak 30 orang budak, seorang anak budak dan 200 batang pohon kurma.
Kemudian, aku menemui Umar untuk meminta penjelasan terkait hal ini. Ternyata, ia memutuskan, harta warisannya adalah milik suami dan kemenakannya. Keduanya memang beragama Nasrani. Umar tidak memberiku harta warisan mendiang ibuku sedikit pun."
Kasusnya berbeda bila pewaris yang telah meninggal berstatus murtad. Dalam arti, orang itu pernah memeluk Islam, tetapi akhirnya mati dalam keadaan kafir.
Terkait ini, Umar pernah mengatakan, “Orang-orang yang melakukan perbuatan syirik, kita dapat mewarisi harta mereka, sementara mereka juga tidak dapat mewarisi harta kita."
Maksudnya adalah, bagi mereka yang murtad. Maka orang murtad ketika ia mati dengan sendirinya, maka ahli waris yang Muslim dapat mewarisinya.