Ahad 16 Aug 2020 06:05 WIB

Peran Ulama dan Penguasa dalam Proses Islamisasi

Ulama dan penguasa berperan dalam proses islamisasi.

Peran Ulama dan Penguasa dalam Proses Islamisasi. Foto: Makam Fatimah binti Maimun (wafat 1028 M) di Leran, Gresik, Provinsi  Jawa Timur.
Foto: Abdul Hadi WM
Peran Ulama dan Penguasa dalam Proses Islamisasi. Foto: Makam Fatimah binti Maimun (wafat 1028 M) di Leran, Gresik, Provinsi Jawa Timur.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Batu-batu nisan di Jawa Timur yang ditemukan di wilayah nonpantai Majapahit meragukan pendapat yang telah lama diyakini bahwa Islam di Jawa berasal dari wilayah pantai dan mewakili oposisi politik dan agama untuk kerajaan. Hal itu dinyatakan Ricklefs (1991) dalam Sejarah Modern Indonesia.

Ia berpendapat, sebagai kerajaan dengan kontak politik dan perdagangan yang luas, Majapahit hampir pasti telah berhubungan dengan pedagang Muslim sehingga muncul dugaan akan kemungkinan ketertarikan pihak istana pada agama para pedagang Muslim. Sedangkan, guru-guru Sufi mengklaim bahwa kekuatan supranatural berperan lebih atas kemungkinan perpindahan agama para elite istana tersebut, mengingat mereka telah lama akrab dengan aspek mistisisme Hindu dan Buddha.

Baca Juga

Raden Abdulkadir Widjojoatmodjo dalam Islam in the Netherlands East Indies(1942) mengatakan, ketika orang-orang pantai yang meng adopsi Islam dianggap tidak jelas, seorang Muslim Cina bernama Ma Huan dan utusan Kerajaan Cina mengunjungi Jawa pada 1416. Mereka merekam perjalanan tersebut dalam sebuah buku berjudul Ying-yai Sheng-lan: The Overall Survey of the Ocean’s Shores(1433).

Dalam buku tersebut (diedit dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh John Vivian Gottlieb Mills, diterbitkan pada 1970), disebutkan bahwa pada masa itu hanya terdapat tiga tipe masyarakat di Jawa. Yakni, Muslim dari Barat, masyarakat dari etnis Cina (sebagian beragama Islam), dan orang-orang kafir.

Mills berpendapat, catatan perjalanan Ma Huan yang dibuat sekitar 50 tahun setelah keterangan tahun yang terdapat pada nisan-nisan di Jawa Timur itu menunjukkan Islam di Jawa memang tidak tersebar dari wilayah pantai. Ia telah diadopsi oleh pejabat istana sebelum orang-orang Jawa yang tinggal di pesisir.

Salah satu bukti yang memperkuat pendapat tersebut adalah sebuah nisan dari masa 822 H (1419 M) di Gresik, Jawa Timur, yang menandai makam tokoh Islam bernama Maulana Malik Ibrahim. Pendapat yang muncul menyebutkan bahwa ia bukan orang Jawa. Namun demikian, menurut tradisi Jawa, ia adalah salah seorang dari sembilan tokoh guru yang dikenal de ngan sebutan Wali Songo.

Selain itu, penjelasan historis sejumlah sumber menunjukkan bahwa proses Islamisasi di wilayah timur Jawa berkaitan erat dengan proses di wilayah tengah. Pada abad 15-an, Kerajaan Majapahit yang berkuasa di Jawa mengalami kemunduran. Setelah kalah dalam beberapa pertempuran, kerajaan Hindu terakhir di Jawa tersebut jatuh bersamaan dengan me ning katnya ke k u a s a a n negara yang d i i s l a m k a n , yakni Kesultanan De mak, pada 1520.

Adapun di wilayah barat, penyebaran Islam terjadi lebih belakangan dibanding di wilayah timur. Naskah Suma Oriental-nya Tomé Pires (ditulis pada 1512-1515 M) yang dikutip Wikipedia melaporkan, pada masa itu masyarakat Jawa Barat yang berbahasa Sunda bukanlah Muslim. Sebuah penaklukan oleh Muslim di wilayah ini baru terjadi pada abad ke-16.

Suma Oriental adalah naskah yang berisi informasi tentang kehi dup an di wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara pada abad ke-16. Naskah ini sebenarnya merupakan laporan resmi yang ditulis Tomé Pires kepada Raja Emanuel tentang potensi peluang ekonomi di wilayah yang baru dikenal oleh Portugis saat itu. Karena itu, naskah ini tidak pernah diterbitkan.

Naskah tersebut baru diterbitkan pada 1944 dengan judul Hakluyat Societysetelah versi salinannya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh sejarawan Armando Z Cortesão (1891- 1977). Tentang Indonesia, Suma Orientalmemuat informasi terutama tentang Pulau Jawa dan Pulau Sumatra.

Disebutkan dalam naskah tersebut, pada awal abad 16, wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah masih dikuasai oleh raja Hindu-Buddha yang tinggal di pedalaman Jawa Timur, yakni Daha (Kediri). Sementara, di Pantai Utara, Muslim kerap berperang dengan m a s y a r a k a t pedalaman.

Di antara pe m i m p i n Muslim pesisir tersebut adalah orang-orang Jawa yang telah memeluk Islam. Sebagian lainnya adalah para pedagang Muslim yang tinggal di se panjang rute perdagangan yang telah terbangun, termasuk pedagang Cina, India, Arab, dan Melayu. Menurut Pires, para pendatang tersebut dan keturunan mereka begitu mengagumi budaya Hindu-Buddha Jawa sehingga mereka meniru gaya masya rakat lokal dan dengan sen diri nya menjadi orang Jawa.

Sementara itu, dalam kajiannya mengenai Kesultanan Banten, Martin van Bruinessen (antropolog dan penulis asal Belanda) mendalami hubungan antara mistis dan kekuasaan raja. Hal itu melahirkan pandangan mengenai kondisi dan proses Islamisasi di wilayah tersebut yang kontras dengan yang terjadi di penjuru wilayah Jawa lainnya.

Sumber-sumber pribumi, seperti dikutip dalam kajian tersebut, mengasosiasikan tarekat tidak dengan perdagangan dan pedagang, tetapi dengan raja, kekuatan magis, dan legitimasi politik.

Dalam laporan yang berjudul Shari’a Court, Tarekat, and Pesantren: Religious Institutions in the Sultanate of Banten, van Bruinessen (1995) menyajikan bukti bahwa Sunan Gunung Jati terinisiasi pada beberapa orde sufisme, yakni Kubra, Shattari, dan Naqsyabandi.

Terlepas dari perbedaan versi pendapat yang ada, Pulau Jawa adalah wilayah yang menjadi ajang bagi penyebaran Islam, secara formal maupun informal, pada masa lampau. Sumber yang dikutip Wikipedia menyebutkan bahwa tidak ada bukti yang menjelaskan penerapan Islam oleh masyarakat Indonesia sebelum abad 16, selain di wilayah Jawa, Sumatra, kesultanan-kesultanan Ternate dan Tidore di Maluku.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement