REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Esensi dari kurban adalah iroqotuddam (mengalirnya darah/penyembelihan).
Namun demikian, perlukah penyembelihan hewan kurban itu disaksikan? Lantas bagaimana hukumnya jika si penurban tidak menyaksikan penyembelihan?
Dalam buku Fiqih Qurban Perspektif Madzhab Syafii karya Muhammad Ajib dijelaskan, ulama Mazhab Syafii menganjurkan bagi pengurban yang mewakilkan penyembelihannya kepada orang lain untuk ikut serta menyaksikan proses penyembelihan.
Namun demikian, para ulama di kalangan mazhab ini berpendapat, menyakiskan penyembelihan hewan kurban bagi si pengurban hukumnya sunnah. Karena bersifat sunnah, tidak ada kewajiban bagi pengurban untuk menyaksikan penyembelihan jika sedang berhalangan.
Namun demikian, apabila kondisi si pengurban memungkinkan dan kondisi tempat penyembelihan tidak menimbulkan mudharat semisal pada masa pandemi virus korona jenis baru (Covid-19) ini, maka para ulama menganjurkan bagi si pengkurban untuk menyaksikan penyembelihan.
Imam Nawawi, misalnya, dalam Al-Majmu menjelaskan, hukum sunnah bagi si pengurban dalam menyaksikan penyembelihan kurbannya didasarkan pada hadits Rasulullah SAW.
Hadits itu berasal dari riwayat Abu Said Al-Khudri. Nabi SAW bersabda kepada Fatimah:
يا فاطمةُ قومي إلى أُضحيتِك فاشهدِيها ، فإنَّ لكِ بأولِ قطرةٍ تقطُرُ مِنْ دمِها يُغفرْ لكِ ما سلف من ذنوبِكِ
“Berdirilah (wahai Fatimah) untuk kurbanmu dan saksikanlah. Sesungguhnya tetesan darah yang pertama bisa mengampuni dosamu yang telah lalu.”