REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Surat-menyurat Khalifah Umar bin Khattab kepada para gubernur menjadi awal dimulainya pemikiran membuat penanggalan Hijriyah. Abu Musa al-Asy'ari menjadi gubernur pertama yang mengusulkan agar surat yang dikirim itu ada tanggalnya agar tidak bingung saat memilih mana surat baru dan lama.
"Karena itu, beliau (Abu Musa al-Asy'ari) menyarankan kepada Sayyidina Umar untuk membuat sebuah penanggalan agar tidak terjadi lagi kebingungan di antara gubernur-gubernurnya," kata Ustadz Ahmad Zarkasih saat berbincang dengan Republika.co.id, Rabu (24/6).
Mendengar saran tersebut akhirnya Sayyidina Umar memanggil semua staf dan orang pentingnya untuk berdiskusi, merumuskan dan memformulasikan sebuah penanggalan, agar tidak lagi ada yang kebingungan. Adanya penanggalan pastinya akan sangat membantu kinerja para staf dan gubernur serta masyarakat luas.
Setelah berdiskusi, mereka sepakat harus memiliki standardisasi penanggalan demi kemaslahatan. Pada forum penting itu setiap pihak mengeluarkan pendapat untuk menentukan kapan tahun pertama itu dimulai dalam pandangan mereka.
Ada yang mengusulkan tahun pertama dimulai Tahun Gajah ketika Nabi Muhammad SAW lahir. Ada juga yang mengusulkan pada tahun wafatnya Nabi. Tidak sedikit yang mengusulkan pada tahun Nabi diangkat menjadi rasul ketika wahyu pertama turun.
"Ada juga opsi di tahun hijrahnya Nabi ke Madinah," ujarnya.
Dari empat opsi ini, akhirnya Sayyidina Umar memutuskan memulai tahun Hijriyah ketika Nabi Muhammad SAW hijrah dari Makkah ke Madinah. Usulan ini merupakan rekomendasi dari Utsman dan Ali.
Pertimbangannya, mereka tidak memilih tahun kelahiran dan tahun diangkatnya Nabi SAW menjadi rasul karena memang ketika itu juga mereka masih berselisih tentang waktu kapan tepatnya Nabi lahir dan kapan wahyu pertama turun. Sementara itu, terkait tahun wafatnya Nabi, Sayyidina Umar menolak menjadikannya permulaan tahun karena pada tahun tersebut banyak kesedihan.
"Akhirnya beliau memilih tahun hijrahnya Nabi," kata Ustadz Ahmad Zarkasih.
Alasannya, selain karena jelas waktunya, hijrah juga dianggap menjadi pembeda antara yang hak dan yang batil ketika itu. Hijrah juga menjadi tonggak awal kejayaan umat Islam setelah hanya berdakwah secara sembunyi-sembunyi.
Karena itulah kalender ini dinamakan kalender Hijriyah. Sebab, yang menjadi acuan awalnya adalah hijrahnya Nabi Muhammad SAW. Padahal, sejatinya orang-orang terdahulu menamakanya at-Taqwim al-Qamari (kalender bulan). Kalender ini dinamakan Qamar ('bulan') karena hitungan harinya berdasarkan putaran bulan. Cara itulah yang dilakukan oleh bangsa Arab sejak ratusan dekade.
Ustadz Ahmad mengatakan, setelah bersepakat bahwa awal tahun itu terhitung sejak tahun Nabi hijrah, perdebatan kembali terjadi tentang bulan apakah yang menjadi awal bulan-bulan Hijriyah ini. Tentu saja ada yang menawarkan bulan Rabi al-Awwal sebagai bulan pertama tahun Hijriyah. Alasannya, karena bulan itu merupakan bulan hijrahnya Rasul.
"Akan tetapi, Sayyidina Umar justru memilih bulan Muharram untuk jadi bulan pertama pada susunan tahun Hijriyah," katanya.
Selain karena rekomendasi Sayyidina Utsman, beliau memilih Muharram dengan alasan walaupun hijrah terjadi pada bulan Rabi al-Awwal, mukadimah permulaan hijrah terjadi sejak bulan Muharram. Utsman mengatakan, wacana hijrah itu muncul setelah beberapa sahabat Nabi membaiat Nabi. Bait itulah yang mengantarkan kaum Muslimin untuk berhijrah. Bulan yang muncul setelah Dzulhijah adalah bulan Muharram.
"Karena itu, beliau memilih Muharram sebagai bulan pertama di tahun Hijriyah," katanya.
Ustadz Ahmad memastikan, yang perlu diketahui nama-nama bulan pada kalender Hijriyah itu bukanlah wahyu yang turun pada umat Islam. Bangsa Arab sejak zaman jahiliyah pun sudah memakai nama-nama itu seperti Sya'ban, Ramadhan, dan Syawal.
Jadi, orang-orang sebelum Nabi lahir pun sudah mengenal nama Rabi al-Awwal dan juga Rabi al-Tsani atau juga Rajab serta Dzulhijah. Intinya, nama-nama itu telah ada dipakai oleh orang jahiliyah.
"Jadi, bukan hanya khusus orang Islam saja," katanya.