REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Proses melahirkan sangat menyusahkan dan meletihkan bagi seorang wanita. Selama itu pula, ia mengerahkan seluruh kekuatannya, hingga menanggung kesengsaraan yang tiada tara. Allah menggambarkan kondisi ini dalam Alquran Surah al-Ahqaf ayat 15, “...ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula)...”.
Setelah proses melahirkan itu, seorang wanita umumnya mengeluarkan darah dari rahim yang lazim dikenal dengan darah nifas. Keluarnya darah nifas ini bisa bersamaan saat melahirkan atau setelah melahirkan.
Syekh Ibnu Taimiyah, seperti dikutip Muhammad al-Utsaimin dalam Fiqh Al-Mar'ah Al-Muslimah, mengatakan, “Darah yang keluar dengan rasa sakit adalah darah nifas. Yang dimaksud rasa sakit adalah rasa sakit karena melahirkan. Jika tidak demikian, maka darah itu bukan darah nifas”.
Lantaran rasa sakit yang ditanggung seorang ibu selama nifas itulah, menurut Syekh Yusuf al-Qaradhawi dalam kitab Fatwa Kontemporer, Allah membebaskannya dari kewajiban shalat dan puasa. Padahal, keduanya termasuk dalam rukun Islam.
Meski demikian, puasa Ramadhan tetap wajib ditunaikan (di-qadha) setelah yang bersangkutan selesai menjalani masa nifas. Sedangkan shalat yang ditinggalkan tidak wajib di-qadha. Menurut Syekh al-Qaradhawi, nifas seperti halnya haid, hukumnya pun sama. Karena itu, jelasnya, seorang wanita yang sedang nifas ibarat sedang menderita suatu penyakit, sehingga mendapatkan keringanan dari Allah SWT.
Selama masa nifas itu, mereka seharusnya tidak dibebani dengan hal-hal yang memberatkannya. Di beberapa negara Islam, kata Syekh al-Qaradhawi, wanita yang sedang nifas biasanya dihormati dan dilayani sampai kesehatannya pulih seperti keadaan semula.
Lantas, kapankah batas waktu minimal dan maksimal masa nifas itu? Sebagian besar ulama berpendapat bahwa masa nifas adalah 40 hari. Mereka tidak membincangkan waktu paling singkat dari masa nifas.
Imam Syafi'i berpendapat bahwa masa nifas yang paling panjang selama 60 hari. Demikian pula dengan pendapat Imam Malik. Menurut Mazhab Maliki, 40 hari merupakan masa yang dialami oleh umumnya kaum wanita, dan masa nifas yang terpanjang selama 60 hari. Dalam masalah panjang waktu nifas ini tidak banyak perbedaan pandangan antarimam mazhab.
Nifas yang terhenti
Perbedaan pendapat antarmazhab terjadi seputar masalah bagaimana jika darah nifas terhenti sebelum 40 hari. Menurut Mazhab Hanafi, keluarnya darah nifas secara tidak teratur, yakni kadang terhenti dan kadang keluar, selama masa nifas, masih tetap terhitung nifas, meskipun terhentinya sampai melebihi 15 hari.
Pendapat serupa juga dipegang oleh Mazhab Syafi'i. Di samping itu, mazhab ini juga berpendapat, apabila setelah melahirkan, sang ibu tidak mengeluarkan darah sama sekali, dan setelah ditunggu selama 15 hari juga tidak mengeluarkan darah, maka hari-hari itu semua dianggap suci.
Dengan demikian, menurut mazhab ini, seluruh kewajiban yang ditinggalkan selama itu wajib di-qadha. Dan jika setelah itu keluar darah, maka darah itu adalah darah haid. Jadi, dalam kasus ini, dalam pandangan Mazhab Syafi'i, seorang wanita tidak mengalami nifas sama sekali.
Sedangkan pandangan Mazhab Maliki dalam masalah ini berbeda dengan kedua mazhab tersebut di atas. Menurut mazhab ini, jika darah nifas terhenti selama 15 hari dalam masa nifas, maka ia dianggap suci. Dan darah yang keluar setelah itu adalah darah haid. Tetapi jika darah yang terhenti kurang dari setengah bulan, maka darah yang keluar selanjutnya termasuk darah nifas.
Seperti dikutip oleh Syekh Muhammad al-Utsaimin, Imam Malik berkata dalam kitab Al-Mughni, “Jika darah terlihat setelah dua atau tiga hari setelah terhentinya, maka itu adalah darah nifas. Jika tidak, maka itu darah haid”.
Kemudian dilakukan perhitungan, berapa hari yang bersangkutan mengeluarkan darah, dan berapa hari tidak mengeluarkan darah. Jika hari-hari yang mengeluarkan darah itu telah sampai 60 hari, maka berarti masa nifas telah habis.
Penting pula dikemukakan di sini pendapat Mazhab Hanbali. Mazbab ini berpandangan bahwa ketika darah nifas terhenti dalam waktu-waktu nifas, maka saat itu yang bersangkutan dalam kondisi suci. Dengan demikian, ia wajib melaksanakan kewajiban-kewajiban agama seperti pada hari-hari biasa.
Semua imam mazhab itu menyepakati status hukum wanita nifas seperti halnya wanita yang haid. Ia dilarang mengerjakan shalat, puasa, berdiam diri di masjid, menyentuh Alquran, thawaf di Masjidil Haram, dan berhubungan badan dengan suami.