REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Haid atau menstruasi merupakan situasi yang tidak bisa dihindari oleh seorang wanita yang telah akil baligh. Saat di posisi ini, ia dilarang mengerjakan ibadah, seperti sholat, pauasa, dan menyentuh Alquran.
Lantas, muncul pertanyaan terkait kapan seorang Muslimah bisa kembali beribadah setelah menstruasi? Seorang cendekiawan Saudi, Sheikh Ibn Baz, mencoba memapaparkannya dalam artikel di laman About Islam.
Ia menyebut jika seorang wanita Muslim haid atau nifas dan suci sebelum matahari terbenam, wajib baginya untuk melakukan sholat Zhuhur dan Ashar. Hal ini didasarkan pada pendapat yang paling kuat di antara para ulama.
Demikian pula jika dia suci sebelum fajar, ia harus melakukan sholat Maghrib dan Isya. Hal ini diriwayatkan dari Abdul-Rahman bin Auf dan Abdullah bin Abbas, yang mana merupakan pendapat mayoritas ulama.
Di sisi lain, jika seorang wanita mengalami haid atau nifas dan suci sebelum matahari terbit, wajib baginya untuk melakukan sholat Subuh. Hal ini juga tertuang dalam Fatwa Islam Tentang Wanita, yang disusun oleh Muhammad Ibn Abdul-Aziz Al-Musnad dan diterjemahkan oleh Jamal Al-Din Zarabozo, Darussalam, 1996.
Menjelaskan alasan di balik pandangan ini, Imam Ibnu Qudamah menyatakan dalam Al-Moghni bahwa, “waktu sholat kedua (yakni Ashar dan`Isya') dianggap perpanjangan dari sholat pertama (yakni Zhuhur dan Maghrib) bagi mereka yang berhalangan."
Contoh penjelasannya, seorang wanita haidnya berhenti pada waktu sholat Ashar dan tidak shalat Zhuhur karena uzur atau menstruasi. Tetapi karena ia suci pada waktu Ashar, ia masih dalam masa perpanjangan atau tenggang waktu untuk shalat Dhuhur. Oleh karena itu, ia harus shalat bersamaan dengan Ashar.
Dalam kitab Risaalah ad-Dimaa' ath-Thabi'iyyah li an-Nisaa', dijelaskan secara bahasa haid berarti mengalirnya sesuatu. Sedangkan, secara syar'i, maknanya adalah darah yang keluar dari rahim seorang wanita secara alami tanpa sebab apa pun pada waktu-waktu tertentu.
Semua ulama mazhab bersepakat haid akan dialami seorang anak perempuan minimal pada usia sembilan tahun. Menurut ulama Syafi'i, Maliki, Hanbali dan Hanafi, jika anak perempuan belum mencapai umur sembilan tahun tetapi sudah mengeluarkan darah dari tubuhnya, itu bukan darah haid tapi darah penyakit.