Rabu 10 Jun 2020 04:50 WIB

Gus Ghofur Maimun: Pesantren Lahirkan Ulama Tafsir Alquran

Pesantren menjadi pusat lahirnya karya-karya tafsir Alquran lokal.

Rep: Muhyiddin/ Hasanul Rizqa/ Red: Nashih Nashrullah
Pakar tafsir Alquran KH Abdul Ghofur Maimun atau Gus Ghofur
Foto:

Apakah keragaman itu hanya terkait dengan latar keilmuan?

Itu juga terkait latar sosial-budaya. Turjuman al-Quran, misalnya, dianggap sebagai kitab tafsir pertama yang lengkap di Nusantara. Itu ditulis dengan bahasa Melayu kuno dengan aksara pegon. Begitu pula Tafsir Surah al-Kahfi itu yang sampai sekarang tidak diketahui penulisnya. 

Tampaknya, pegon memang aksara keilmuan utama, tak hanya di Kesultanan Aceh, tetapi juga Muslimin Nusantara saat itu. Di pesantren-pesantren tradisional di Jawa, pegon hingga 1990-an masih bisa saya rasakan dominasinya. Kiai Shaleh Darat menulis Faidhur Rahman fi Tarja mati Kalamil Malikid Dayyan. Kiai Bisri Musthofa dengan Al-Ibriz li Ma'rifati Tafsiril Qur'anil Aziz. Lalu, Kiai Misbah Zainul Musthofa, Iklil fi Ma'anit Tanzil. Ketiga kitab itu berbahasa Jawa dan aksara pegon.

Bagaimana peran pesantren dalam dinamika penulisan kitab tafsir di Nusantara?

Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang sangat tua di Nusantara. Di Aceh, pendidikan semacam pesantren lazim dinamakan dayah. Tafsir pertama yang lengkap di Nusantara adalah Turjumanul Mustafid karya Abdurrauf as-Singkili. 

Ia adalah putra Syekh Ali al-Fanshuri. Ayahnya ini adalah ulama kesohor yang memimpin dayah di pedalaman Singkel. Dengan ini, kita ketahui, bahkan tafsir pertama yang lahir di Indonesia adalah produk dari tokoh pesantren atau dayah. 

photo
Perpustakaan Masjid Nabawi di Madinah, Arab Saudi. (Republika/Amin Madani) - (Republika/ Amin Madani)

Beberapa tafsir yang kita sebutkan sebelumnya juga merupakan karya-karya kiai pesantren. Kiai Bisri Musthofa menulis Al-Ibriz, Kiai Misbah Zainul Musthofa penulis tafsir Iklil, Kiai Sholeh Darat penulis Faidhur Rahman, lalu Kiai Sanusi penulis Tafsir Raudhatul Quran. Semuanya adalah tokoh-tokoh besar di dunia pesantren.

Pesantren-pesantren ini adalah pesantren swasta, tak ada kaitannya dengan penguasa. Ada juga pesantren-pesantren yang dekat dengan keraton, seperti Pesantren Manbaul Ulum di Solo.

Pesantren ini juga melahirkan karya tafsir, seperti Tafsir Al-Balagh karya salah satu gurunya, Kiai Imam Ghazali. Memang, pesantren pada masa sekarang seperti sudah lama tak lagi melahirkan karya-karya tafsir. Atau mungkin, telah menerbitkan, tetapi kurang mendapat respons yang tinggi di tengah masyarakat. Ulama-ulama pesantren dahulu banyak sekali berkarya. Semoga gairah menulis, terutama di bidang tafsir Alquran, segera muncul kembali. 

photo
Gus Ghofur berasama Tuan Guru Zainul Majdi (TGB) rekan kuliah selama di Universitas Al-Azhar Mesir. - (Dok Pribadi )

Dalam catatan sejarah Nusantara, apa saja dampak kolonialisme terhadap dinamika studi tafsir Alquran?

Berkenaan dengan kebijakan pemerintah kolonial Belanda, yakni dalam kaitannya dengan studi tafsir di Indonesia, ada dua hal yang bisa saya sampaikan. Pertama, penggunaan dengan aksara latin. Ini kebijakan yang kenalkan Belanda. Mulanya, aksara latin kurang laku. Namun, lama-kelamaan justru lebih populer, terutama setelah lahirnya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.  

KH Moenawar Cholil pada 1958 menulis Tafsir Hidajaatur Rahman yang berbahasa Jawa, tetapi menggunakan aksara latin. Buya Hamka, Ahmad Hassan, dan Mahmud Yunus bahkan telah menggunakan bahasa Indonesia untuk menulis kitab tafsir. Kedua, berkenaan dengan kebijakan larangan menerjemahkan Alquran. 

Larangan ini toh tak dapat menghentikan upaya penerjemahan. Kiai Shaleh Darat menulis Tafsir Faidhur Rahmandalam bahasa Jawa dengan aksara pegon. Beliau menulis tafsirnya pada 1893 atau beberapa tahun sebelum wafat. 

Sayid Usman, sang mufti Batavia (Jakarta), menceritakan, pada 1909 sekelompok orang telah datang kepadanya dengan membawa Alquran yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Ia pun mengharamkan penerjemahan Alquran dan ia tuangkan hal ini dalam karyanya, Hukm ar-Rahaman bin-Nahy `an Tarjamatil Quran.

 

Pendapat mufti Batavia ini adalah sah-sah saja secara akademik. Kiai Sholeh Darat menulis tafsirnya berbahasa Jawa dengan penuh kesadaran dan ia membentengi tindakannya itu dengan argumen yang kuat. Apakah ia menulis tafsir dalam bahasa Jawa ini ada singgungannya dengan sikapnya yang antipenjajah? Wallaahu a'lam. Namun, kemungkinan itu sangat tinggi.   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement