Kamis 28 May 2020 08:41 WIB

Ibnu Rusyd: Filosof Berkemajuan dan Mencerahkan

Ibnu Rusyd berpendapat filsafat tidak bertentangan dengan agama.

Ibnu Rusyd: Filosof Berkemajuan dan Mencerahkan. Ibnu Rusyd atau Averroes, dari detail lukisan Triunfo de Santo Tomás, karya artis Florence abad ke-14 Andrea Bonaiuto.
Foto:

Mencerahkan dan Berkemajuan

Ibn Rusyd menulis tak kurang dari 50 judul buku dari berbagai disiplin ilmu. Di antara karya-karyanya, ada yang hasil karyanya sendiri, ada juga yang berupa ulasan terhadap karya Aristoteles.

Karyanya yang sampai kepada kita antara lain Bidayatul Mujtahid, Faslul-Maqal fi ma baina al Hikmati was-Syari’at min al-ittsal, Manahij al Adillah fi Aqaidi Ahl alMillah, dan Tahafut at-Tahafut. Di antara karya-karya tersebut, yang paling mencerahkan adalah Faslul-Maqal fi ma baina al Hikmati was-Syari’at min al-ittsal.

Dalam karya ini, ia memunculkan teori tentang harmoni (perpaduan) agama dan filsafat. Ia menawarkan satu pandangan baru yang sama sekali orisinil dan rasional.

Ia berusaha mengharmoniskan agama dan filsafat. Menurutnya, filsafat tidak bertentangan dengan agama. Fungsi filsafat tidak lain hanyalah untuk memikirkan yang maujud (lahiriah) agar membawa kepada ma’rifatullah.

Dalam konteks itu, Ibnu Rusyd mencetuskan teori tentang Ijma’. Dalam Bidayatul al-Mujtahid, Ibn Rusyd menjelaskan ijma’ sebagai sumber hukum Islam yang tidak dapat berdiri sendiri. Ijma’ dapat menjadi sumber hukum apabila ada sandaran dari salah satu atau lebih sumber hukum Islam yang lain: Alquran, hadits, dan ijtihad.

Menurut Ibn Rusyd, ijma’ memiliki dua jenis. Pertama, ijma’ yang terjadi karena kebulatan suara para mujtahid dan masyarakat umum mengenai hal-hal yang fundamental dalam Islam, seperti tentang sholat, zakat, dan sebagainya. Kedua, ijma’ yang terjadi karena konsensus para mujtahid sendiri.

Dalam hal ini, masyarakat umum secara otomatis menyetujui konsensus tersebut. Ijma’ jenis kedua ini berkenaan dengan hal-hal yang tidak fundamental dalam Islam, tetapi hanya rincian-rincian dari hal-hal fundamental tersebut.

Atas dasar itu, Ibn Rusyd menunjukkan adanya nash dalam syara’ di mana terjadi ijma’ kaum Muslimin untuk berpegang kepada arti lahirnya. Ada nash yang lain di mana mereka sepakat (ijma’) untuk menta’wilnya. Ada juga nash di mana mereka memutuskan (ijma’) bahwa nash itu diperselisihkan antara perlu dita’wil atau tidak.

Menurut Ibn Rusyd, ijma’ hanya dapat terjadi pada hal-hal yang praktis. Tidak pada halhal yang teoritis. Gagasan-gagasan Ibnu Rusyd tersebut merupakan titik cerah dalam wacana hukum Islam.

Ia memberikan gagasan berkemajuan bagaimana meletakkan nash, akal, dan konteks masyarakat. Ia memberi pencerahan terhadap sulitnya melakukan istinbath hukum pada saat itu.

 

 

sumber : Suara Muhammadiyah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement