REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada zaman Rasulullah SAW, ada suatu kasus. Seperangkat barang telah dicuri oleh seseorang. Barang curian itu kemudian ditemukan di rumah seorang Yahudi. Alhasil, dialah yang dituduh sebagai pencuri barang itu.
Dan, tentu saja Yahudi itu menolak tuduhan tersebut. Sebaliknya, ia malah menuduh Tu'mah bin Ubairiq, seorang tetangganya yang Muslim.
Kaum Muslimin bersimpati kepada Tu'mah sebab seiman, sama-sama Muslim. Peristiwa ini kemudian dibawa kepada Rasulullah SAW.
Nabi SAW tidak begitu saja terbawa emosi. Setelah perkara itu diperiksanya dengan seksama, tanpa ada maksud tertentu selain demi keadilan, hasilnya sangat mengejutkan. Atas dasar kebenaran Nabi SAW, maka orang Yahudi itu dibebaskan dari tuduhan.
Tu'mah memang selama ini mengaku sebagai Muslim, tetapi sebenarnya ia adalah orang munafik. Banyak perbuatan jahat dilakukannya.
Ia pun telah mencuri seperangkat pakaian perang. Ketika jejaknya diketahui, cepat-cepat barang hasil curian tersebut dilemparkannya ke rumah Yahudi tetangganya. Dan, di sanalah barang itu kemudian ditemukan.
Setelah perbuatan khianatnya diketahui, dia lari ke Mekah, bergabung dengan kaum musyrik.
Sepintas, peristiwa ini tidak penting, tetapi jangkauannya sangat luas. Sejak saat itu, Tu'mah selalu berupaya keras menjerumuskan Rasulullah SAW dan kaum Muslimin.
Ia dan golongannya yang ternyata orang-orang munafik itu hendak menjebak Rasulullah. Mereka ingin agar Nabi SAW salah menjatuhkan hukuman. Sudah tentu, ini akan dijadikan dalih untuk menuduh Nabi SAW bertindak sewenang-wenang.
Kisah Tu'mah ini, menurut sebagian kalangan penafsir Alquran, menjadi asbabun nuzul surah an-Nisa ayat 58. Artinya, "Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat."