REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- "Katakanlah, jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istri keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya, dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik" (QS At-Taubah:24).
Ayat itu menegaskan, seorang hamba Allah hendaknya lebih mencintai Zat Yang Maha Agung daripada lain-lain.
Allah telah menganugerahkan perasaan cinta kepada manusia, lengkap dengan akal untuk mempertimbangkannya. Cinta pada dasarnya adalah fitrah kemanusiaan. Ini berupa dorongan perasaan dan gejolak hati dari seorang untuk menggapai sesuatu dengan penuh kelembutan, kasih sayang, dan kegairahan.
Karena cinta adalah fitrah, berarti wujud awal cinta adalah suci. Tetapi persoalannya, kerap kali cinta menjadi sebuah bumerang, malapetaka dan kehancuran. Itulah akibatnya kalau cinta tanpa dituntun akal sehat.
Peranan akal yang dituntun hidayah-- Alquran dan Sunah--diperlukan untuk mengefektifkan arah cinta. Tanpa itu, cinta akan sia-sia belaka.
Cinta yang utama
Menurut Abdullah Nasih Ulwan dalam Al Islam wa al Hub, cinta yang paling utama adalah cinta seorang hamba kepada Allah dan Rasul-Nya, serta berjihad di jalan Allah.
Cinta tingkat menengah adalah cinta kepada orangtua, anak, saudara, istri/suami, dan kerabat. Adapun cinta yang paling rendah adalah yang mengutamakan keluarga, kerabat (sektarian atau nepotisme), harta, dan tempat tinggal. Itu dipandang rendah, karena menomorduakan Allah, Rasul-Nya dan berjuang di jalan Allah.
Rasulullah SAW menjelaskan, jika Allah mencintai seorang hamba, maka seluruh yang ada di langit akan mencintai orang tersebut. Sebaliknya, jika Allah membenci, maka bencilah seluruh penduduk langit dan bumi, termasuk Malaikat Jibril (HR Bukhari-Muslim).