REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendapat setiap orang mungkin akan berbeda-beda bila menjabarkan tentang cinta. Bisa jadi, cinta itu dapat tumbuh atas inisiatif diri sendiri. Atau, ia tumbuh lantaran ketetapan di luar kehendaknya.
Antara upaya dan takdir. Begitu sekiranya penjabaran ringkas mengenai cinta dalam Islam. Dalam kitab Imtizaj Al-Arwah karya At-Tamimi diceritakan mengenai seorang tabib yang ditanya tentang apa itu "cinta buta."
Sang tabib menjawab, “Tumbuhnya cinta bukan karena inisiatif si pencinta, bukan karena keinginannya, dan tak menjadi kenikmatan bagi kebanyakan manusia. Tumbuhnya cinta laksana penyakit kronis yang datang tiba-tiba. Tak ada perbedaan antara keduanya."
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya, Raudhah Al-Muhibbin, mengungkapkan, tak sedikit orang yang berkata, cinta buta adalah suatu jenis siksaan. Maka, ia berpendapat, orang yang berakal tentu tak akan memilih siksaan atas dirinya sendiri.
Ia mengutip sajak dari Al-Mu’ammal:
Al-Mu’ammal linglung dan gelisah karena pandangan
Seandainya dia diciptakan tanpa pandangan mata
Cukuplah derita bagi si pencinta dalam kehidupan
Hingga kelak di neraka tak akan lagi ada siksaan.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah kemudian menjabarkan, terdapat kabar bahwa usai melantunkan syair tersebut, Al-Mu’ammal menjadi buta. Menurutnya, sudah seharusnya manusia tidak menjadikan cinta sebagai jalan merusak akal. Dalam merasakan cinta, setiap hamba Allah hendaknya tetap dapat berpikir dan mencerna dengan akalnya.
Ia menuliskan syair:
Bisikan cinta bukanlah sekadar bisikan
Tiada yang tahu apa yang telah dikabarkan
Urusan cinta tiada tuntas dengan penalaran
Tak juga selesai dengan analogi dan pikiran
Urusan cinta berkaitan dengan lintasan hati
Urusan demi urusan datang silih berganti.
Memang, dengan cinta nampaknya dunia akan terasa indah. Namun jangan lupa, dengan cinta pula rasanya dunia nampak kelabu. Maka seorang hamba yang beriman akan menyeimbangkan keduanya agar selamat dari perkara cinta. Cinta memang berada di antara upaya dengan takdir.