REPUBLIKA.CO.ID, Lafal-lafal yang diucapkan dalam sholat pada dasarnya ialah bacaan-bacaan yang diajarkan Rasulullah dan diriwayatkan secara estafet oleh para sahabat. Diriwayatkan dari Malik bin Anas bahwa Rasulullah SW ber sabda, “Kerjakanlah sholat sebagaimana kalian melihatku melakukannya,” (HR Bukhari).
Universalitas risalah Islam menjangkau semua etnis bangsa, tak terbatas pada masyarakat Arab. Tetapi, tidak setiap Muslim mampu melafalkan katakata berbahasa Arab itu dengan mudah, terutama saat menjalankan ibadah sholat. Lantas, bolehkah menggunakan bahasa ‘ajam atau bahasa selain Arab, dalam ritual sholat?
Hukum asal berbicara atau melafalkan bacaan di luar ketentuan yang lazim sewaktu sholat dianggap membatalkan ibadah itu. Pendapat ini berlaku dalam Mazhab Hanafi dan Hanbali.
Bercakap-cakap, sekurang-kurangnya terdiri atas dua huruf, walaupun tidak mempunyai arti, bisa merusak keabsahan sholat, baik disengaja ataupun tidak. Di kalangan Mazhab Syafi’i dan Maliki, bila seseorang mengeluarkan perkataan ketika sholat maka tidak membatalkannya selama perbuatannya itu terjadi karena lupa, kadarnya pun hanya sedikit.
Penegasan larangan berbicara itu ditegaskan, antara lain, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Zaid bin Arqam. Hadits yang dinukil oleh Bukhari itu mengisahkan, pernah suatu ketika para sahabat sedang melaksanakan sholat berjamaah dengan Rasulullah. Dua orang sahabat sembari sholat, asyik bercengkerama. Maka, turunlah ayat: “Berdirilah karena Allah (dalam sholatmu) dengan khusyuk,’’ (QS Al Baqarah [2] /: 238).
Lantas, apa hukum menggunakan sholat dengan bahasa ‘ajam? Dalam buku Kumpulan Fatwa Majelis Ulama Indonesia disebutkan sholat yang disertai terjemah bacaannya dengan bahasa ‘ajam, dinyatakan tidak sah. Hal ini karena tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah.
Sholat adalah ibadah murni (mahdhah) yang pelaksanaannya wajib mengikuti petunjuk Rasulullah. Baik dalam bacaan maupun gerakannya. Segala bentuk aliran dan paham yang mengelaborasikan sholat menggunakan bahasa ajam, dinyatakan batil dan tertolak. Kesimpulan yang sama juga diputuskan oleh Dewan Hisbah Persatuan Islam (Persis).
Dalam buku Kumpulan Keputusan Dewan Hisbah Persis disebutkan bahwasanya bacaan sholat yang ditambah dengan terjemahannya tidak sah. Pada masa awal Islam, para sahabat yang berasal dari luar Makkah dan Hijaz, serta yang berdarah non-Arab, kesulitan melafalkan huruf-huruf Arab. Ketika itu bahasa Arab masih terdengar asing di telinga mereka. Namun, tak seorang pun yang diberi keringanan oleh Rasulullah untuk menggunakan bahasa mereka masing-masing.
Bahkan, orang Arab yang belum hafal surah al-Fatihah pun tidak diizinkan oleh Rasulullah untuk membaca dengan bahasa yang dikuasainya. “Dan jika tidak (bisa berbahasa Arab) hendaklah bertahmid, bertakbir, dan bertahlil,” demikian jawaban Rasulullah yang dinukil oleh Abu Daud, dalam kitab Sunan-nya.