REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Psikologi Islam, Prof Abdul Mujib mengatakan, seorang istri memiliki proporsi masing-masing dalam urusan ibadah dan keluarga. Karenanya, dia menilai, dua hal tersebut tak akan bisa dihadapkan satu sama lain.
“Tapi berbeda jika ibadah yang dimaksud adalah ibadah sunnah, di mana urusan keluarga bisa didahulukan jika bobotnya lebih tinggi,” ujar dia ketika dikonfirmasi Republika.co.id, Rabu (29/4).
Dia mencontohkan, shalat tahajud atau puasa Senin-Kamis yang merupakan ibadah sunnah, bisa ditinggalkan terlebih dahulu jika mendapat urusan keluarga atau kehendak suami untuk berhubungan, yang merupakan kewajiban Istri agar melayaninya. Menurut dia, hal itu berbeda dengan ibadah wajib, seperti sholat lima waktu dan puasa Ramadhan yang harus tetap dilakukan istri tanpa ada gangguan.
“Dan kalau ibadah itu nilainya wajib, tak bisa diganggu,” ujarnya.
Mengurus anak, menurut dia, juga merupakan hal yang wajib dilakukan istri terkait perannya di keluarga. Oleh sebab itu, tak ada yang boleh membatasi perempuan melakukannya.
“Mengurus keluarga dan anak itu juga wajib, dan termasuk ibadah,” kata Guru Besar Psikologi Islam UIN Jakarta itu.
Dia menegaskan, dengan alasan tersebut, ibadah tak bisa dihadapkan dengan kewajiban istri terhadap keluarga. Sebaliknya, yang harus menjadi inti di antara hal tersebut adalah mengintegerasikan bahwa ibadah merupakan objek langsung pada banyak aspek.
Ketika ditanya peran suami di keluarga, ia menjelaskan, semua peran yang diambil merupakan tanggung jawab suami. Sebab, tanggung jawab istri dalam Islam, memang sangat terbatas.
“Peran istri dalam psikologi Islam itu ada dua, peran gender dan peran wanita,” ucapnya.
Dia melanjutkan, peran wanita merupakan peran yang tak bisa diganggu gugat atau ditolak. Peran wanita yang mencakup kehamilan, melahirkan dan menyusui hanya ada pada wanita.
“Jadi, jangan berpikir karena seorang wanita karier, lantas tak mau mengandung,” ujar dia.
Sementara itu, peran gender menurut dia, sangat erat kaitannya dengan kultur dan budaya. Ttugas yang spesifik bisa diatur oleh istri atau suami, tergantung pada budaya dan kondisi sosial.
“Misal berbelanja, di Indonesia hal itu dilakukan kebanyakan oleh wanita. Tapi di Arab belanja itu ya dilakukan lelaki, nggak ada perempuan lakukan itu,” kata dia.