REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam bahasa Arab, kata ijtihad berasal dari ijtihada-yajtahidu-ijtihadan. Artinya, 'bersungguh-sungguh.' Tindakan bersungguh-sungguh itu dilakukan terhadap perkara yang berat dan sulit, bukan ringan dan mudah. Seorang yang berijtihad--yakni mujtahid--mengerjakan suatu urusan yang berat dan sulit secara bersungguh-sungguh.
Adapun arti ijtihad dan mujtahid menurut takrif atau istilah disajikan para ulama ushul fiqih. Rumusannya sebagai berikut, seperti dikutip dari uraian KH Moenawar Chalil dalam Kembali kepada Al-Qur'an dan as-Sunnah.
"Ijtihad ialah menghabiskan kesanggupan dalam mendapatkan suatu hukum syara' yang amali dengan jalan mengeluarkan dari Kitab dan sunnah."
Rumusan lainnya: "Ijtihad ialah menghabiskan kesanggupan seorang fakih (ahli hukum agama) untuk menghasilkan zhan (sangkaan) dengan menetapkan satu hukum syara', dan orang yang menghabiskan kesanggupannya tentang demikian itu dinamakan mujtahid."
Ijtihad sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Seperti diriwayatkan Amr bin Ash, Rasulullah SAW bersabda, "Apabila seorang hakim menghukumi lalu ia berijtihad, dan ijtihadnya benar, dia akan mendapatkan dua pahala. Apabila ia menghukumi lalu berijtihad, dan ijtihadnya salah, maka dia akan menerima satu pahala" (HR Bukhari-Muslim).
Seorang ahli hukum agama akan berijtihad manakala menjumpai suatu perkara yang tak didapati nash-nya dalam Alquran dan sunnah Nabi SAW.
Pada saat itu, salah seorang sahabat yang dapat berijtihad adalah Mu'adz bin Jabal. Nabi SAW pernah bersabda, "Umatku yang paling mengetahui ihwal halal dan haram ialah Mu'adz bin Jabal."
Ketika Rasulullah SAW hendak mengutusnya ke Yaman, lebih dulu ia ditanya oleh beliau.
"Apa yang menjadi pedomanmu dalam mengadili sesuatu, wahai Mu'adz?" tanya Rasulullah SAW.
"Kitabullah," jawab Mu'adz.
"Bagaimana jika kamu tidak jumpai dalam Kitabullah?" tanya Rasulullah pula.
"Saya putuskan dengan sunah Rasul."
"Jika tidak kamu temui dalam sunah Rasulullah?"
"Saya pergunakan pikiran saya untuk berijtihad dan saya takkan berlaku sia-sia," jawab Mu'adz.
Maka, berseri-serilah wajah Rasulullah. "Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah sebagai yang diridhai oleh Rasulullah," sabda beliau.