REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Prof Dr Muhammad Mustafa Azami (1932-2017) merupakan seorang pakar ilmu hadis era kontemporer. Karya-karyanya kerap menjadi rujukan, termasuk dalam membantah tudingan-tudingan yang dialamatkan kaum orientalis tentang keotentikan hadis.
Disertasi Prof Azami di Universitas Cambridge meruntuhkan berbagai tudingan kaum orientalis yang meragukan kebenaran hadis. Bahkan, reputasi ini diakui beberapa orientalis sendiri, semisal Prof AJ Arberry dari kampus yang sama.
Di antara sasaran kritik Azami ialah orientalis Josept Scahct, penulis buku The Origins of Muhammadan Jurisprudens (1950). Bantahan yang diajukan Azami termaktub dalam karyanya, On Schacht’s Origin of Muhammadan Jurisprudence (2004).
Scahct sendiri bukan sembarang ilmuwan. Orang Yahudi tersebut banyak melakukan kajian atas sejarah pemikiran hukum Islam. Para ahli sejarah waktu itu tak sedikit yang mendukungnya, apalagi dari kalangan sesama orientalis Barat.
Di antara klaim yang kontroversial dari Scahct ialah, kehadiran Nabi Muhammad SAW tidak berkaitan dengan pembentukan sistem hukum Islam. Lebih lanjut, sarjana kelahiran Polandia tahun 1902 itu menganggap, hukum Islam tak ubahnya bentuk peradilan yang sudah berlaku sejak prakenabian Muhammad SAW alias zaman jahiliyah.
Alasannya, pada masa itu belum ada hukum tertulis yang berlaku di tengah komunitas Arab. Alhasil, warga setiap mengalami sengketa akan membawa persoalannya kepada seseorang yang dinilai bijaksana di antara mereka.
Tudingan Schacht
Dalam The Origins of Muhammadan Jurisprudens, Scahct mengemukakan pendapatnya, yakni sistem isnad—yang dipakai untuk mengukur tingkat akurasi periwayatan hadis—hanyalah bikinan para ulama. Artinya, sistem tersebut tak pernah ada pada zaman Nabi SAW atau para sahabat. Adalah para pakar fikih (qadhi) yang membuatnya, terutama menjelang era Imam Malik. Karya Azami dengan lugas membantah klaim Scahct demikian dengan bukti-bukti ilmiah dan historis.
Azami menemukan, penulis The Origins of Muhammadan Jurisprudens itu telah keliru dalam menggunakan metodologi riset. Sebab, mereka—termasuk Scahct—melakukan penelitian bukan atas kitab-kitab hadis, melainkan kitab sejarah dan fikih. Bahkan, hasil dari riset yang cacat secara metodologis itu lantas digeneralisasi sehingga muncul kesimpulan, teori isnad bersifat ahistoris (“bikinan para ulama”).
Azami menegaskan, bila para orientalis itu melakukan studi langsung atas kitab-kitab hadis, niscaya hasil penelitiannya akan berbeda.
Temukan kelemahan orientalis
Menurut Azami, Scahct dalam mengkritik keaslian (authenticity) hadis semestinya memakai metodologi kritik hadis. Ada beberapa tahap dalam pendekatan itu.
Misalnya, membandingkan hadis-hadis dari berbagai murid dari seorang guru yang sama. Kemudian, membandingkan pernyataan-pernyataan dari seorang guru yang disampaikan pada waktu-waktu berlainan. Selanjutnya, membandingkan pembacaan lisan dengan apa yang tertulis dalam catatan atau naskah. Akhirnya, membandingkan hadis-hadis dengan ayat-ayat Alquran yang relevan.
Dengan begitu, lanjut Azami, periset akan menemukan, sistem isnad adalah sungguh-sungguh historis. Sistem itu sudah dipakai sejak zaman Rasulullah SAW. Para sahabat pun menggunakannya dalam penyebaran hadis Nabi SAW. Bahkan, lebih jauh lagi, sistem periwayatan pun sebenarnya sudah dikenal orang-orang Arab zaman silam, umpamanya, ketika mereka mengutip syair-syair.
Untuk membantah Scahct, Azami menelaah sejumlah hadis. Misalnya, hadis yang dimuat dalam manuskrip Suhail bin Abi Shalih. Ada sekitar 49 hadis dalam naskah tersebut. Abu Shalih, yakni ayahanda Suhail, diketahui sebagai murid Abu Hurairah, sahabat Rasulullah SAW yang meriwayatkan banyak sekali hadis.
Dengan demikian, sanad atau jalur periwayatan hadis dalam manuskrip tersebut ialah dimulai dari Nabi SAW, lalu Abu Hurairah, lalu Abu Shalih, dan akhirnya Suhail. Penelitian Azami menunjukkan, dirinya begitu jauh melakukan penelusuran hingga generasi ketiga (al-thabaqah al-tsalisah).
Tidak hanya itu, Azami juga menjelaskan domisili para perawi. Ia menemukan, sekitar 20 orang perawi yang tinggal berpencaran. Ada yang bermukim di India, Maroko, Yaman, hingga Turki. Artinya, tempat tinggal mereka masing-masing saling berjauhan. Akan tetapi, redaksi hadis yang mereka semua riwayatkan sama.
Itu terjadi jauh sebelum era modern, ketika beragam teknologi komunikasi tercipta. Oleh karena itu, amatlah mustahil dengan konteks zaman demikian mereka pernah saling bertemu untuk mereka-reka hadis palsu sehingga muatannya sama.
Begitu pula, mustahil bila tiap mereka membuat hadis yang kemudian diketahui oleh generasi sesudahnya bahwa redaksi tiap hadis itu sama satu sama lain. Satu-satunya penjelasan adalah, hadis memang jalur periwayatannya sampai hingga Rasulullah SAW. Hadis-hadis yang berkembang bukanlah rekaan para qadhi. Dalam hal ini, Azami menyebut Scahct sebagai ilmuwan yang mengabaikan realitas masa itu—era periwayatan hadis.