REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fitnah adalah perkataan atau ucapan yang menanggung kebohongan yang diucapkan atau disampaikan dengan tujuan mencela, merusak nama baik, dan mendiskreditkan seseorang.
Salah satu unsur fitnah adalah ghibah dan namimah
Ghibah diambil dari kata ghaib yang artinya tidak hadir atau tidak nampak. Jika seseorang menyebutkan sesuatu yang tidak disenangi oleh orang lain ketika orang itu tidak ada dihadapannya, maka itu disebut dengan ghibah. Sedangkan namimah adalah memperkeruh hubungan antara dua orang atau lebih.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
اَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ
Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. (QS. Al-Hujurat: 12).
Dalam salah satu kisah istri Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, yaitu Aisyah radhiyallahu anhu yang saat itu sempat mendapatkan tuduhan selingkuh dengan Shafwan bin Al-Mu’aththal As-Sulami.
Tuduhan perselingkuhan itu terjadi pada masa hidup Nabi Muhammad SAW dan tercatat dalam sejarah dengan peristiwa yang dikenal sebagai "Insiden Ifk" atau "Kebohongan".
Pada suatu perjalanan kembali dari perang, rombongan Rasulullah SAW beristirahat di sebuah tempat yang disebut dengan Wadi al-Qura. Saat itulah, Aisyah tidak sengaja tertinggal saat perjalanan kembali ke Madinah.
Seorang sahabat yang diberi tanggung jawab untuk menjaga Aisyah, Safwan bin Al-Muattal, menemukan Aisyah dan membawa kembali ke Madinah dengan selamat.
Namun, kejadian tersebut dijadikan bahan oleh sebagian kaum munafik dan penentang Islam untuk menimbulkan fitnah terhadap Aisyah serta mengganggu kehormatan beliau. Tuduhan fitnah ini, yang menuduh Aisyah berbuat tercela dengan Safwan bin Al-Muattal, menyebar luas di kalangan masyarakat Madinah.
Nabi Muhammad SAW, yang sangat mencintai Aisyah radhiyallahu anhu sangat terpukul oleh tuduhan tersebut. Namun, beliau tetap menunggu kebenaran dan bukti yang jelas sebelum mengambil tindakan apapun.
Di samping itu, Aisyah merasa kebingungan harus berbuat seperti apa. Jika ia mengakui bahwa itu adalah fitnah, bisa jadi semua orang tidak akan mempercayainya karena tuduhan tersebut sudah menyebar secara luas.
Akhirnya Aisyah memutuskan untuk diam saja dan menunggu pertolongan dari Allah SWT.
Kemudian Allah memberikan bukti kebenaran dalam bentuk wahyu yang turun dan membebaskan Aisyah dari tuduhan tersebut melalui Surat An-Nur ayat 11 yang berbunyi:
إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar. (QS. An-Nur: 11).
Maka. dari pelajaran yang bisa diambil dari kisah Aisyah ialah ketika mendapatkan tuduhan atau fitnah dari orang lain, sebaik-baiknya sikap yang harus diambil ialah diam tanpa melakukan pembenaran.
Menghadapi fitnah dengan diam melibatkan pemilihan untuk tidak memberikan reaksi yang berlebihan atau sebaliknya menanggapi fitnah dengan tenang dan dengan minim intervensi.
Diam juga dapat dilihat sebagai kebijakan non-partisipasi dalam perang kata atau konflik verbal. Dengan tidak memberikan reaksi terhadap fitnah, seseorang dapat menghindari memperburuk situasi dan mengurangi kemungkinan eskalasi konflik.
Dalam konteks ini, diam bukan dianggap sebagai tanda kelemahan, tetapi tindakan yang cerdas untuk mempertahankan kedamaian dan harmoni.