REPUBLIKA.CO.ID, JEDDAH --Ulama dan sastrawan dunia kelahiran Beirut, Syekh Musthafa al-Ghalayain (1885-1944 M) mengatakan, dapat disaksikan bahwa banyak orang—termasuk mereka yang memiliki kedudukan terpandang di masyarakat karena memegang jabatan tinggi—melontarkan perkataan yang tidak pernah mereka perbuat alias membuat janji palsu.
“Apabila kamu menuntut mereka merealisasikan perkataan-perkataan dan menepati janji-janji mereka, mereka cenderung berapologi dengan berbagai alasan,” ujar Sykeh al-Ghalayain dinukil dari terjemahan kitab Izhatun Nasyi’in terbitan TuRos, Rabu (14/2/2024).
Syekh al-Ghalayain melanjutkan, mereka menunjukkan watak asli berupa pembelaan dan kemunafikan. Mereka juga selalu mengulur waktu untuk mempromosikan dalih mereka. Menurut dia, semua itu terjadi karena kemauan yang lemah dalam jiwa mereka dan tidak terbiasa untuk mensinkronkan antara kejujuran dalam ucapan dengan kejujuran dalam berperilaku.
Saat seseorang yang pernah berjanji atau berucap sesuatu diminta untuk merealisasikannya, tapi dia menyatakan tidak bisa, dia akan terbebas dari celaan. Bahkan, menurut Syekh Ghalayain, respons tersebut lebih baik dibandingkan janji yang tidak ditepati.
Menurut dia, celaan itu lebih pantas dialamatkan kepada orang yang berkata, "Aku akan melakukan sesuatu, tapi setelah itu menghilang dan tidak menepati janjinya sama sekali. Ingkar janji bukanlah etika orang yang terhormat, dan kebohongan tidak lain merupakan akhlak orang-orang hina.”
Sebelum seseorang berjanji untuk suatu urusan, menurut dia, sebaiknya direnungkan lebih dulu. Apabila ia yakin mampu memenuhi apa yang dijanjikan, tidak ada larangan untuk berjanji. Jika dirasa tidak mampu, sebaiknya ia tidak perlu berjanji.
“Adapun orang yang berjanji sebelum memikirkan dan merenungkannya terlebih dahulu, apakah ia mampu menepati janjinya itu atau tidak, ia merupakan orang yang sangat tolol. Sering kali ketololan itu menjerumuskan pelakunya dalam kehancuran dan menimbulkan penyesalan berkepanjangan,” jelas dia.
Dia menuturkan, tidak ada yang lebih mengherankan dibandingkan orang-orang yang berkata dan berjanji tapi diiringi niat dalam hati untuk tidak akan memenuhinya. Faktor yang mendorong mereka menyebarkan dusta semacam itu disebabkan oleh jiwa-jiwa mereka yang mendapat asupan dari pendidikan yang rusak.
Menurut Syekh al-Ghalayain, siapa saja yang membiasakan suatu hal buruk sampai menjadi bagian dari sikap dan perilakunya, pasti sulit menghilangkannya. Perangai tersebut akan senantiasa bersemayam dalam jiwanya hingga ia masuk ke dalam liang kubur.
Ketika seseorang dikenal sering tidak menepati janji dan berdusta dalam ucapan dan perilaku, dapat dipastikan orang-orang akan menjauhinya, meskipun itu sahabat karibnya sendiri. Mereka tidak akan percaya kepadanya jika berkata dan tidak mempedulikan ketika ia berjanji.
Bahkan, kata dia, mereka melihatnya bagaikan fatamorgana di daerah yang rindang dan tampak bagaikan fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi apabila didatangi tidak terdapat apa pun.
Dia menambahkan, karakter tercela ini akan menyebar pada suatu bangsa, jika generasi mudanya tidak lagi dapat dipercaya. Menurut dia, kehilangan kepercayaan sama dengan kehilangan kehidupan. Karena itu, dia pun berpesan kepada generasi muda,
“Anak-anak muda yang baik, takutlah pada dusta. Sebab sungguh dusta itu meremukkan mahkota kehormatan. Waspadalah terhadap sikap ingkar janji karena berpotensi menjauhkan kalian dari sesama. Apabila kalian mampu menepati janji, berjanjilah. Jika bertekad untuk merealisasikannya, katakanlah. Jika tidak, tinggalkanlah janji dan perkataan agar kamu tidak termasuk sebagai pendusta,” ucap dia.