REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Nabi Muhammad SAW datang dengan membawa ajaran yang penuh manfaat. Ajaran yang menanamkan harapan, keberanian dan kekuatan dalam diri setiap diri umat Muslim.
Hal itulah yang kemudian mengubah seseorang menjadi individu yang lebih baik dan berguna, hingga mampu mengisi dunia dengan berbagai kebaikan dan amal kebajikan.
Bahkan, sekalipun seorang Muslim mendapatkan kekalahan atau kegagalan, ia tidak lepas dari tanggung jawab sebagai seorang hamba. Tidak boleh lemah atau bahkan sampai menyalahkan keadaan yang membuatnya mengalami kekalahan.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Nabi Muhammad SAW bersabda:
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
"Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta 'ala daripada orang mukmin yang lemah. Pada masing-masing (mereka) memang terdapat kebaikan. Berjuanglah dengan sungguh-sungguh untuk sesuatu yang bermanfaat bagimu. Mohonlah pertolongan kepada Allah Azza wa Jalla dan janganlah kamu menjadi orang yang lemah. Bila kamu tertimpa suatu kegagalan, maka janganlah kamu berkata 'Seandainya tadi saya berbuat begini dan begitu, niscaya tidak akan menjadi begini dan begitu'. Tetapi katakanlah 'Ini sudah takdir Allah dan apa yang dikehendaki-Nya pasti akan dilaksanakan-Nya'. Karena sungguh ungkapan kata 'law' (seandainya) akan membukakan jalan bagi godaan setan.'" (HR. Muslim)
Hadits tersebut menjelaskan ihwal apa yang dimaksud “orang mukmin yang kuat”. Darinya diketahui, orang mukmin yang kuat tidak berkaitan dengan kepemilikan kekuatan fisik, tetapi justru karena keimanannya. Orang yang kuat adalah yang kuat keimanannya kepada Allah SWT.
Adapun "Dia lebih baik dan lebih dicintai Tuhan Yang Maha Esa daripada mukmin yang lemah", yang dimaksud mukmin yang lemah adalah orang yang di dalam keimanannya terdapat kelemahan.
Pada kalimat berikutnya, dikatakan "...dan pada setiap sesuatu ada kebaikan." Ini berarti bahwa seorang mukmin yang kuat dan lemah masing-masing memiliki kebaikan. Karena baik mukmin yang kuat maupun lemah, sama-sama mengambil bagian dalam keimanan.
Kekuatan yang menyimpan kebaikan memiliki rupa yang beragam. Salah satunya adalah kekuatan dalam ketaatan. Orang beriman yang kuat lebih banyak bekerja, berpuasa dan berjuang dalam ketaatannya kepada Allah SWT.
Orang beriman yang kuat juga berarti bahwa dia kuat dalam menentukan nasibnya sendiri. Dia lebih proaktif dalam berjihad dibandingkan musuh-musuhnya. Lebih bertekad dan gigih dalam mengubah keburukan, lebih sabar dalam melumpuhkan musuh-musuhnya, dan lebih mampu menanggung berbagai musibah dan kesulitan di jalan Allah SWT.
Orang beriman yang kuat juga mencakup seseorang yang diberikan kekuasaan berupa harta kekayaan berlimpah. Orang beriman yang ada dalam posisi ini, maka akan mengeluarkan lebih banyak hartanya untuk berbagai amal kebaikan dan tidak terlalu tertarik mengejar dunia. Dia sangat ingin memperoleh sesuatu yang ada setelah dunia ini. Hal terkutuk dari tipe ini adalah ketika dia melakukan kecongkakan dan kesombongan.
Selanjutnya ialah orang beriman yang lemah tapi tetap menyimpan kebaikan, sebagaimana disebutkan Nabi SAW dalam hadits tersebut. Maksud dari hal ini adalah, orang beriman yang lemah memiliki kelembutan dan menjalankan ketaatan kepada Allah SWT. Dia lemah untuk bertekad dalam menjalankan larangan Allah SWT.
Untuk itulah, Nabi Muhammad SAW menasihati umat Islam dengan bersabda, "Berjuanglah untuk sesuatu yang bermanfaat bagimu," menunjukkan betapa pentingnya memiliki tujuan dalam hidup ini. Ketika menetapkan apa tujuan itu, maka bersandarlah pada alasan terciptanya tujuan tersebut, yaitu Allah SWT.
Itulah sebabnya Rasulullah SAW berpesan, "Dan mintalah pertolongan kepada Allah." Sebab, bila seseorang bersandar pada sebuah alasan dan dengan alasan itu tidak memperoleh pertolongan Allah SWT, maka yang bersangkutan tidak akan mendapatkan apa yang diinginkannya.
Mengambil alasan untuk mencapai suatu tujuan saja tidak cukup, karena seseorang sejatinya butuhkan sesuatu di balik itu, yakni pertolongan dan bantuan Allah SWT. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali atas kekuatan Allah.
Adapun yang dimaksud "berjuang untuk sesuatu yang bermanfaat", yaitu sesuatu yang mendatangkan kebaikan di dunia dan akhirat bagi seorang Muslim. Seperti istiqamah dalam melaksanakan ibadah, berbuat amal shaleh, dan semacamnya.
Dari hadits itu pula, Nabi Muhammad SAW melarang sikap bermalas-malasan (Al Kasl), yang merupakan kebalikan dari tekun atau giat (An Nasyath). Kemalasan hanya akan membebani diri sendiri dengan sesuatu yang tidak seharusnya dibebani. Jiwa yang malas tidak menghasilkan kebaikan, padahal ia mempunyai kemampuan untuk melakukannya. Karena itu, Nabi SAW juga biasa meminta perlindungan kepada Allah SWT dari kemalasan.
Lantas bagaimana jika seorang Muslim menaati perintah Allah SWT dan menunaikannya secara sempurna, lalu kemudian musibah menimpanya setelah itu? Dalam kondisi ini, dia tidak boleh berkata "Seandainya tadi saya berbuat begini dan begitu, niscaya tidak akan menjadi begini dan begitu".
Namun katakanlah "Ini sudah takdir Allah", karena apa yang telah terjadi sesuai dengan qadha dan qadhar-Nya. Allah SWT berbuat apa saja yang Dia kehendaki, dan tidak ada penghapusan atas ketetapan-Nya.
Setelah Nabi Muhammad SAW melarang mengucapkan kata syarat "seandainya" dalam situasi seperti itu, beliau SAW menunjukkan bahwa ucapan tersebut akan membuka pintu godaan setan. Sehingga, siapapun yang ada dalam situasi itu menyelisihi apa yang telah ditetapkan Allah SWT dan menyesali apa yang sudah berlalu. Karena dia merasa keberatan dan meratapi nasib yang menimpanya.
Ingat pula bahwa qadha dan qadhar tidak akan tertunda, selama seseorang telah bekerja keras, memaksimalkan akal budinya, memohon pertolongan Allah, dan memohon kebaikan kepada-Nya. Setelah itu, cukuplah diserahkan kepada Allah SWT.
Apapun yang telah ditetapkan Allah SWT adalah baik, meski apa yang telah terjadi ini tampak buruk. Tidak ada seorang pun di antara makhluk yang dapat memaksakan takdir Sang Pencipta Yang Maha Esa dan mengubahnya tanpa izin Allah SWT, sekalipun dunia dan seisinya bersatu.
Sumber:
https://dorar.net/hadith/sharh/62791