Senin 05 Feb 2024 14:53 WIB

Kompolnas: Seruan Megawati Harus Jadi Perhatian Polri

Kompolnas ingatkan jangan sampai ada kemunduran dalam reformasi sektor keamanan.

Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri menghadiri kampanye akbar Ganjar Pranowo-Mahfud MD, di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Jakarta, Sabtu (3/2/2024).
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri menghadiri kampanye akbar Ganjar Pranowo-Mahfud MD, di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Jakarta, Sabtu (3/2/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti mengatakan seruan presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri yang mengingatkan kepada TNI/Polri untuk tetap netral dan tidak mengintimidasi rakyat harus menjadi perhatian semua pihak dan jajaran kepolisian.

"Netralitas TNI/Polri merupakan suatu keharusan karena mereka adalah abdi negara yang wajib melayani seluruh rakyat tanpa memandang preferensi politik rakyat yang dilayani," kata Poengky dikonfirmasi di Jakarta, Senin.

Baca Juga

Sejalan dengan pernyataan Megawati, Kompolnas telah melaksanakan pengawasan fungsional terhadap institusi Polri. "Sebagai pengawas eksternal, kami sudah menegaskan berulang-ulang agar pimpinan dan seluruh anggota Polri harus netral," ujar Poengky.

Anggota Kompolnas dari unsur masyarakat itu menerangkan bahwa Megawati mengetahui banyak tuntutan rakyat pada saat reformasi. Semasa menjabat presiden ke-5 RI, lahirlah tiga undang-undang yang strategis bagi reformasi dan keamanan.

Ia menyebutkan ketiga undang-undang tersebut, yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pertahanan Negara. "Beliau mengetahui betul bagaimana tuntutan rakyat saat reformasi," katanya. 
 
Pada masa reformasi, lanjut Poengky, TNI/Polri dituntut untuk serius melaksanakan netralitasnya, yang berarti tidak berpolitik atau menunjukkan keberpihakan pada kelompok politik tertentu, serta tidak menggunakan haknya untuk memilih dan dipilih.

Pada masa Orde Baru, kata dia, meskipun ABRI (TNI/Polri) wajib netral. Akan tetapi, rezim Orde Baru menyalahgunakan kewenangan dengan menjadikan ABRI berpihak pada presiden sehingga turut melanggengkan kekuasaan H.M. Soeharto selama 1966 hingga 1998 (32 tahun).

Oleh karena itu, kata Poengky, apa yang diingatkan oleh Megawati sangat penting untuk menjadi acuan semua bahwa jangan sampai ada kemunduran dalam reformasi sektor keamanan di Indonesia dengan ketidaknetralan aparat TNI/Polri dalam pemilu sebagaimana praktik pada masa Orde Baru.

"Kami sangat setuju jika oknum-oknum yang melakukan tindakan kekerasan dan intimidasi pada masa pemilu (misalnya kasus Gunungkidul, Boyolali, dan Manado) harus diproses hukum secara tegas agar ada efek jera," ujar Poengky yang juga aktivis HAM tersebut.

Terkait dengan kasus Aiman Witjaksono yang mengadu ke Kompolnas pekan lalu, dia mengatakan bahwa pihaknya segera menyurati Polda Metro Jaya terkait dengan aduannya menyita ponsel milik caleg Partai Perindo dan Juru Bicara TPN Ganjar-Mahfud.

"Untuk seruan terkait dengan proses hukum terhadap Aiman Wicaksono, Kompolnas sesuai dengan kewenangannya melakukan klarifikasi ke Polda Metro Jaya," kata Poengky.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement