REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Orang dalam perkara utang-piutang tentunya sah-sah saja atau diperbolehkan dalam Islam. Namun demikian, baik peminjam maupun orang yang memberikan pinjaman wajib memperhatikan ketentuan syariat.
Syekh Abu Bakar Jabir Al Jazairi dalam kitab Minhajul Muslim menjelaskan, pinjaman utang (qardh) secara istilah syariat berarti menyerahkan uang kepada orang yang dapat memanfaatkannya. Lalu, meminta pengembaliannya sebesar uang tersebut.
Misalnya, orang yang membutuhkan itu berkata kepada orang yang dapat membantunya, “Pinjamkanlah kepadaku uang sebesar sekian atau perabotan atau binatang selama waktu tertentu, niscaya aku akan mengembalikannya pada waktunya.”
Adapun hukum qardh dianjurkan bagi seseorang yang mampu meminjamkannya. Hal ini berdasarkan firman Allah Surat Al Hadid ayat 11:
مَنۡ ذَا الَّذِىۡ يُقۡرِضُ اللّٰهَ قَرۡضًا حَسَنًا فَيُضٰعِفَهٗ لَهٗ وَلَهٗۤ اَجۡرٌ كَرِيۡمٌ
“Man zal lazii yuqridul laaha qardan hasanan fa yudaa'ifahuu lahuu wa lahuuu ajrun kariim.”
Yang artinya, “Barangsiapa meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, maka Allah akan mengembalikannya berlipat ganda untuknya, dan baginya pahala yang mulia.”
Syarat Memberi Pinjaman Utang (Qardh) dalam Islam
1. Jumlah pinjaman harus diketahui baik itu takaran, timbangan, maupun besarannya.
2. Sifat dan umurnya harus diketahui, jika pinjaman itu berupa binatang.
3. Pinjaman berasal dari seseorang yang dihukumi sah bantuannya. Sehingga tidak sah pinjaman yang berasal dari seseorang yang tidak kuasa melakukan tindakan hukum dan tidak pula dari seseorang yang tidak sehat akalnya.
Adapun salah satu ketentuan hukum bagi pemberi pinjaman adalah keharaman dalam mengambil keuntungan dari barang pinjaman dengan menambah jumlah pembayaran pinjaman. Atau meminta pengembalian barang pinjaman dengan yang lebih baik atau keuntugan lainnya yang keluar dari akad utang-piutang jika hal itu disyaratkan dan merupakan kesepakatan antara keduanya.