Kemudian, wudhu batal karena bersentuhnya secara langsung dan tanpa penghalang dari kulit pria dewasa dan kulit wanita dewasa apabila disertai dengan rangsangan syahwat atau memang dimaksudkan untuk menimbulkan rangsangan. Terkait ini, para ulama mazhab Syafi'i berpendapat persentuhan kulit antara laki-laki dewasa dan perempuan dewasa (termasuk istri) membatalkan wudhu walaupun tanpa dibarengi dengan rangsangan syahwat. Akan tetapi, hal ini dikecualikan untuk persentuhan antara pria dan wanita yang mahram yang menurut mereka tidak membatalkan wudhu.
Sementara itu, sebagian ulama mazhab Syafi'i menganggap persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan bukan mahram membatalkan wudhu si penyentuh, tetapi tidak membatalkan yang tersentuh. Namun, Abu Hanifah memiliki pendapat berbeda. Ia memahami kata persentuhan sebagai kiasan untuk hubungan seksual (senggama). Karenanya, persentuhan biasa antara kulit laki-laki dan perempuan (misalnya ketika berdesak-desakan) tidak membatalkan wudhu.