REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Alquran merupakan Kalamullah yang kebenarannya mutlak. Bahasa Alquran merupakan bahasa yang tidak boleh diterjemahkan atau ditafsirkan sembarangan.
Dalam buku Tema Kontroversial Ulumul Quran karya Nur Faizin dijelaskan, adanya larangan menafsirkan Alquran dengan akal (bi ar-ra’yi) merupakan implikasi dari anggapan bahwa Rasulullah SAW menyampaikan, menerangkan, dan menjelaskan seluruh Alquran dengan baik dan tekstual. Baik itu secara ayat, ataupun kandungan dari seluruh isi Alquran.
Ibnu Taimiyah berkata, “Wajib diketahui bahwa Nabi Muhammad SAW telah menjelaskan kepada para sahabat mengenai makna-makna Alquran sebagaimana beliau juga telah menjelaskan lafadz-lafadznya."
Beliau berpendapat, hal itu dikarenakan adanya pesan Allah SWT berbunyi, “li tubayyina lin-nas." Yang artinya, “Agar kamu menjelaskan kepada manusia." Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW telah menjelaskan Alquran sebagaimana beliau juga telah menyampaikan lafadznya.
Ibnu Utsaimin dalam kitab Syarah Muqaddimah fi Ushul al-Tafsir juga berpendapat serupa. Ibnu Utsaimin mengukuhkan pendapat Ibnu Taimiyah tersebut.
Sedangkan Ibnu Asyur dalam muqadimah kitab tafsirnya menjelaskan, riwayat-riwayat yang dinukil dari Rasulullah SAW, sahabat, tabi’in, tidak menjelaskan seluruh Alquran. Dia juga menyebut bahwa penjelasan terhadap kalimat-kalimat Alquran, istilah, dan ungkapannya kebanyakan berasal dari pendapat para ulama ahli ijtihad.
Sehingga beliau berkata, “Adapun orang yang jumud mengatakan bahwa tafsir Alquran tidak boleh melebihi penafsiran-penafsiran melalui riwayat, maka mereka adalah orang yang menyempitkan luasnya makna Alquran. Sebab riwayat (hadits) yang shahih dan dapat diterima berasal dari Rasulullah SAW sangatlah terbatas."
Syarat-syarat orang yang boleh menafsirkan Alquran
Dalam buku Ilmu Tafsir karya Ustaz Ahmad Sarwat dijelaskan, terdapat beberapa syarat agar seseorang bisa menjadi mufasir.
1. Dia harus sehat akidah. Yakni akidahnya tidak boleh menyimpang, karena jika menyimpang, maka yang bersangkutan bisa saja 'memperkosa' ayat-ayat Alquran demi kepentingan penyelewengannya.
2. Terbebas dari hawa nafsu. Seluruh mufasir memang dilarang menggunakan hawa nafsu dan kepentingan pribadi maupun kelompok dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran. Dia harus betul-betul menanggalkan subjektivitasnya.
3. Menafsirkan Alquran dengan Alquran. Karena Alquran turun dari satu sumber, maka tiap ayat menjadi penjelas dari ayat lainnya dan tidak saling bertentangan. Maka sebelum mencari dari penjelasan keterangan lain, yang harus dirujuk pertama kali dalam menafsirkan adalah ayat Alquran itu sendiri.
4. Menafsirkan Alquran dengan sunnah. Seorang mufasir harus membaca dan memahami semua hadis Nabi secara lengkap. Yakni dengan memilah dan memilihnya hanya pada hadis yang maqbul (diterima) saja.
5. Merujuk pada perkataan sahabat.
6. Merujuk pada perkataan tabiin.
7. Menguasai ilmu bahasa Arab.
8. Menguasai ilmu yang terkait dengan ilmu tafsir dan juga ulumul-quran.
9. Pemahaman yang mendalam.