REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nazar merupakan tindakan orang mukallaf (Muslim baligh) yang mewajibkan sesuatu yang belum terjadi, atau berjanji akan melakukan niatnya apabila permohonannya dipenuhi. Tapi, tidak semua nazar boleh dilakulan, lho.
Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid menjabarkan, ulama-ulama berbeda pendapat terkait nazar yang tidak diperbolehkan, yakni nazar untuk maksiat. Menurut Imam Malik, Imam Syafi'i, dan sebagaian besar ulama yang lain, nazar melakukan maksiat tidak wajib dilaksanakan.
Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, Sufyan, dan ulama-ulama Kufah, nazar maksiat wajib dilaksanakan. Akan tetapi, yang diwajibkannya adalah kewajiban membayar pelanggaran sumpah (kafarat), bukan kewajiban melakukan maksiatnya.
Namun begitu, berdasarkan kesepakatan para ulama, nazar maksiat tidak boleh dilaksanakan. Sebab Nabi Muhammad SAW pernah bersabda yang artinya, "Barangsiapa bernazar untuk berbuat durhaka kepada Allah, janganlah ia durhaka kepadaNya." Menurut pendapat Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Imran bin Hashin, dan Samurah bin Jundub, orang yang bersangkutan wajib membayar kafarat sumpah.
Pendapat berbeda, yakni yang bersangkutan tidak wajib membayar kafarat sumpah, diutarakan oleh para ulama dari Imam Malik dan Imam Syafi'i. Terjadinya perbedaan pendapat mengenai boleh tidaknya nazar untuk melakukan maksiat, sebab munculnya beberapa hadits yang secara lahiriah terkesan saling bertentangan dengan permasalahan tersebut.
Pertama, hadits yang diriwayatkan Aisyah. Rasulullah SAW bersabda, "Man nadzara an yuthi'allaha falyuthi'hu, wa man nadzara an ya'shiyahu fala ya'shihi." Yang artinya, "Barang siapa bernazar untuk taat kepada Allah, hendaklah ia taat kepadaNya. Dan barangsiapa bernazar untuk durhaka kepada Allah, hendaklah ia jangan durhaka kepadaNya."
Berdasarkan pengertian lahirian hadis tersebut, Ibnu Rusyd menjabarkan, sesungguhnya nadzar berbuat maksiat tidak wajib dilaksanakan. Sedangkan hadits kedua yang menjadi acuan ulama lainnya adalah hadis riwayat Imran bin Hashin bin Abu Hurairah.
Rasulullah SAW bersabda, "La nadzara fi ma'shiyatillahi, fa kaffaratuhu kaffaratau yaminin." Yang artinya, "Tiada ada nadzar sama sekali untuk berbuat maksiat kepada Allah. Kafaratnya ialah seperti kafarat sumpah."
Hadis tersebut menunjukkan bahwa nadzar maksiat tetap harus dilaksanakan dalam bentuk membayar kafaratnya. Yakni, harus membayar denda karena sumpahnya tapi bukan berarti harus berbuat maksiat sebagaimana yang dinadzarkan.
Adapun para ulama yang mengkompromikan kedua hadis tadi mengatakan, hadis pertama mengandung pemberitahuan bahwa maksiat tidak boleh dilakukan. Sedangkan hadis kedua mewajibkan kafarat jika nazar maksiat sudah terlanjur diucapkan.
Sedangkan para ulama yang mengunggulkan hadis yang diriwayatkan Aisyah menganggap, hadis yang diriwayatkan Imran bin Hashin dan Abu Hurairah tidak shahih. Sebab, jalur sanadnya hanya lewat Sulaiman bin Arqam yang merupakan seorang perawi yang diabaikan.
Sementara hadis Imran bin Hashin hanya lewat jalur sanad Zuhair bin Muhammad, dari ayahnya, seorang perawi yang tidak dikenal identitasnya. Sedangkan ulama yang mengkompromikan keduanya, sikap mereka sudah jelas untuk mewajibkan kafarat atas pelanggaran sumpah bagi para pelakunya.
Di sisi lain, nazar memang sebaiknya hanya dilakukan untuk hal-hal baik dan yang memiliki nilai manfaat. Sebab, Rasulullah SAW pernah memerintahkan seorang pemuda untuk menghentikan perbuatan mogok bicara, mogok berteduh, dan mogok duduk.
Meski begitu, Ibnu Rusyd menjelaskan, aksi yang dilakukan seorang pemuda yang ditemui Rasulullah itu bisa jadi karena meniru nadzar yang pernah dilakukan Maryam. Maka dari itu ia berkesimpulan, meski Rasulullah melarang pemuda tersebut menghentikan nadzarnya, bukan berarti berdiri di bawah terik matahari itu dilarang.
Tindakan itu masuk dalam kategori bukan maksiat, kecuali jika dilakukan dengan tujuan untuk menyiksa diri. Dan jika hal itu disebut maksiat, maka dasarnya adalah qiyas bukan nash