REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Jilbab bukan halangan bagi perempuan untuk meraih prestasi. Ada banyak kalangan wanita Muslimah di dunia, termasuk di Indonesia, yang telah menorehkan prestasi yang membanggakan di berbagai bidang. Di antara pada bidang olahraga, sains, dan bahkan militer.
Siapa saja wanita Muslimah berjilbab di Indonesia dan dunia yang telah meraih prestasi gemilang? Berikut ulasan lengkapnya.
1. Tina Rahimi (petinju)
Tina Rahimi menjadi petinju Muslimah asal Australia. Dia adalah petinju berjilbab pertama yang terpilih mewakili Australia di Olimpiade Paris 2024. Prestasi Rahimi tidak hanya sebatas lolos ke Olimpiade.
Karena sebelumnya dia juga menjadi petinju Muslimah Australia pertama yang berkompetisi di Commonwealth Games ketika ia memenangkan medali perunggu di divisi kelas bulu (57 kilogram), di Birmingham, pada 2022.
Dia juga memenangkan emas di Pacific Games pada November 2023 lalu di Honiara, Kepulauan Solomon. Dia menjadi pilihan mutlak dari kelima juri di final.
Rahimi menyadari, ketika pertama kali berjilbab di ring tinju, rasanya panas. Apalagi di Kepulauan Solomon, kelembapannya luar biasa. "Begitu saya memakai penutup kepala, keringat saya menetes. Tapi, seperti halnya puasa yang membutuhkan latihan, saya bisa menyesuaikan diri," kata Rahimi.
Sebelum masuk ke dalam ring, Rahimi menutup lengan dan kakinya, serta mengenakan jilbab di balik tutup kepala pelindungnya.
2. Zahra Lari (atlet ice skating)
Zahra Lari adalah atlet olahraga ice skating asal Uni Emirat Arab. Zahra Lari berhasil mengukir prestasi yang cukup menggembirakan di bidang olahraga ice skating. Pada 2013 lalu, dia yang kala itu masih berusia 18 tahun berhasil mengukir prestasi di kontes Sportland Trofi ke-24 Piala Criterium Eropa.
Dalam kontes yang diadakan di Budapest, Hongaria itu, Zahra berhasil meraih tempat pertama di kategori interpretative C. Kemenangan ini bukan hanya kebanggaan untuk Zahra seorang, tapi juga masyarakat Muslim dunia.
Keberhasilan Zahra yang mengukir prestasi tanpa menanggalkan hijab ini bisa menjadi inspirasi bagi wanita di seluruh dunia. Hijab tak akan menghalangi seseorang untuk terus berkreasi termasuk di dunia olahraga.
"Saya meluncur di atas es dengan tetap memakai hijab sesuai nilai Islam. Sejauh ini tak ada masalah. Para atlet perempuan lainnya sangat baik kepadaku. Mereka sangat terbuka dengan itu," kata Zahra saat itu.
"Semoga, dengan semua ini, bisa mendorong bagi gadis-gadis berjilbab untuk terus berkreasi terhadap apa yang mereka sukai," tambahnya.
3. Tetty Melina (Brigjen TNI AD)
Wanita Muslimah berjilbab selanjutnya yang telah mendapat sorotan karena prestasinya, ialah Tetty Melina. Dia adalah perempuan berjilbab dengan pangkat sebagai brigadir jenderal TNI AD. Ini merupakan prestasi bagi Tetty Melina.
Ayahnya adalah Sersan Parlagutan Lubis, seorang veteran dan pejuang kemerdekaan. Almarhum Parlagutan tercatat pernah aktif sebagai anggota kesatuan Heiho.
Demi meneruskan cita-cita ayahnya, Tetty bersungguh-sungguh menjalani karier di dunia militer. Usai lulus di Sekolah Perwira Wajib Militer (sekarang Sepa PK TNI), Tetty lulus dengan pangkat letnan.
Berbagai amanah sempat mewarnai karirnya dari mengemban tugas sebagai kepala hukum Kodam III/Siliwangi, komandan pendidikan Korps Wanita TNI AD di Lembang, serta ketua Sekolah Tinggi Hukum Militer yang bertugas mendidik para perwira untuk mengambil gelar sarjana dan magister hukum.
Menurut Tetty, jilbab bukanlah hal yang perlu dianggap sebagai penghalang karier di dunia militer. Selama ada kemauan, usaha, dan tekad yang kuat, seseorang akan meraih cita-citanya.
Dalam mengatur ritme karier dan keluarga, ibu dari dua orang anak ini mengaku sangat mensyukuri perannya sebagai ibu di rumah dan memiliki rekan hidup seperti suaminya yang saling mengisi satu sama lain.
Meski di kantor dia berstatus sebagai jenderal bintang satu, Tetty tetap menghormati peran suami sebagai imam dalam keluarga. "Rumah itu kan iman. Artinya, kita juga perlu menjadi teladan bagi anak-anak kita. Menanamkan keimanan agar menimbulkan keharmonisan dalam hidup," ujarnya.
4. Prof Riri Fitri Sari (Guru besar perempuan termuda di UI)
Riri Fitri Sari adalah guru besar teknik komputer di Universitas Indonesia. Saat menyandang predikat tersebut pada 2009, dia menjadi guru besar perempuan termuda di usia 39 tahun, dan rekor ini belum terpecahkan sampai sekarang.
Pendidikan akademik S1 Riri ditempuh di UI, lalu dia mengenyam pendidikan masternya di Universitas Sheffield, kemudian pendidikan doktoral di Universitas Leeds, Inggris.
Perempuan asal Bukittinggi, Sumatra Barat, ini pertama kali menyentuh komputer pada usia 11 tahun, pada awal 1980-an. Gadget pertamanya adalah Sinclair yang dibeli oleh sang ayah saat di Jakarta.
Oleh ayahnya, Riri dipersilakan untuk mencoba komputer tersebut. Di antara saudara-saudaranya, dialah yang senang menggunakan, lalu mencoba-coba belajar berbekal keingintahuan untuk menyelesaikan masalah. Kemudian ia juga menjajal komputer Apple II Plus.
Meski dipenuhi keingintahuan terhadap perkembangan teknologi, Riri tidak pernah lupa dengan nasihat neneknya, yaitu untuk terus memelihara sholat dan mengaji, serta istiqamah di jalan yang lurus dalam melangkah. Sebab, bagaimana pun, manusia di dunia ini hanya sebagai pejalan dan sementara.
"Semua yang kita punya ini hanya titipan dari Allah. Termasuk semua waktu kita, pikiran kita, tidak ada yang kita punya," ucapnya. Kakek Riri, yang merupakan ulama setempat, juga selalu berpesan bahwa tugas seorang Muslim adalah menjalankan hidup ini dengan sebaik-baiknya.
Dia merasa senang bisa berbagi ilmu dan melihat mahasiswanya melakukan sesuatu yang luar biasa. Ini menjadi kebanggaan tersendiri baginya. Bisa membagikan apa yang ia ketahui, kemudian mahasiswa yang memperolehnya membagikan kembali ilmunya. Sebagian mahasiswanya sudah ada yang bergelar profesor.
"Saya selalu ingat perkataan nenek saya, bahwa ada tiga hal yang kita tinggalkan di dunia ini, salah satunya adalah ilmu yang bermanfaat. Saya pikir saya sudah menjalankan tugas yang pertama Insya Allah. Mudah-mudahan bermanfaat," tuturnya.
5. Dr Indri Chairunnissa (Doktor termuda di UIN RMS Surakarta)
Muda, pintar dan cantik, mungkin tiga kata ini yang tepat untuk menggambarkan sosok Indri Chairunnissa. Di usia 28 tahun, dia sudah memegang gelar doktor Manajemen Pendidikan Islam dari UIN Raden Mas Said (RMS) Surakarta, dengan IPK 3,91.
Dengan demikian, ia menjadi doktor termuda pertama, doktor perempuan termuda pertama, lulusan terbaik dan tercepat tingkat universitas dengan waktu 2 tahun 10 bulan di UIN RMS Surakarta.
Prestasi lainnya, Indri menjadi pemenang dalam ajang Beauty Muslimah Indonesia Intelegensia 2017. Hingga sekarang, dia satu-satunya peserta yang bergelar doktor pada ajang tahunan bergengsi itu. Saat ini, Indri bertugas sebagai dosen muda Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP)-Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).
Indri menuturkan, hal yang memotivasi dirinya dalam mencapai prestasi dunia akademik tak lepas dari pandangannya bahwa kuliah dan berprestasi di dunia akademik adalah kebutuhan. Kebutuhan bagi setiap orang yang sadar tentang betapa berharganya sebuah pengetahuan.
Jalan untuk menggapai prestasi yang dilalui Indri memang tak mudah. Begitu banyak kerikil yang diinjaknya hingga menjadi seperti sekarang ini. Dari Madrasah Ibtidaiyah (MI) hingga S3-Doktor di UIN RMS Surakarta, dia sekolah lalu kuliah tanpa jeda dan tanpa beasiswa. Jalan yang ditempuhnya ini menjadi hal yang luar biasa untuknya.
Di masa awal kuliah S1, Indri pernah mendapat perundungan. Ada pihak yang berusaha menggoyahkan impiannya untuk menyelesaikan studi doktor di usia 28 tahun. Ada yang mengatakan, studi doktor tidak penting bagi perempuan, sulit, mahal, dan sebagainya.
"Titik baliknya, Allah Maha Melihat, Allah bantu aku untuk menyelesaikan studi ini dengan baik, cepat, bahkan hanya dalam waktu 2 tahun 10 bulan. Aku bisa buktiin, aku bisa jadi lulusan doktor pertama dan lulusan doktor perempuan pertama di usiaku yang masih 28 tahun waktu itu, dengan IPK 3,91 alias terbaik tingkat universitas. Ini benar-benar mengukir sejarah emas pertama di kampus UIN RMS Surakarta," tuturnya.