Selasa 19 Dec 2023 21:09 WIB

Hukuman Bagi Pelaku LGBT yang Berhubungan Intim

Ulama berbeda pendapat dalam menetapkan jenis hukuman bagi pelaku LGBT.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Muhammad Hafil
Simbol LGBT (ilustrasi).
Foto: Republika
Simbol LGBT (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Dalam hukum Islam, jika kalangan LGBT melakukan hubungan intim maka hubungan tersebut dihukumi haram dan memiliki konsekuensi hukum. 

Prof Huzaemah Tahido Yanggo dalam buku Problematika Fikih Kontemporer menyampaikan ragam hukum yang berlaku jika kaum LGBT melakukan hubungan intim. Ragam jenis hukuman ini dikarenakan para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan jenis hukuman bagi pelaku LGBT.  

Baca Juga

 

 

1. Dibunuh

 

 

Pendapat pertama mengatakan, para pelaku homoseksual harus dibunuh. Pendapat ini dianut oleh sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW yakni An-Nashir dan Qasim bin Ibrahim, hingga ulama klasik seperti Imam Syafii.

 

 

Argumentasi mereka berdasarkan hadits riwayat Nasai dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas, “Man wajadtumuhu ya’malu amala qaumi Luth faqtuluul-faail wal-mafulu bih,”. Yang artinya, “Siapa yang kalian temukan melakukan perbuatan seperti perbuatan kaum Luth (perbuatan homoseksual), maka bunuhlah pelakunya dan pasangannya karena perbuatan itu."

 

 

2. Dirajam

 

 

Adapun pendapat kedua dikemukakan oleh Imam Syafii. Dalam pendapatnya yang popular, Imam Syafii menyebut bahwa pelaku penyimpangan seksual demikian harus dirajam tanpa membedakan apakah pelakunya itu masih bujangan ataukah sudah menikah.

 

 

Pendapat kedua ini juga dikemukakan oleh Said bin Musayyab, Atha’ bin Rabah, Hasan Abu Qatadah, Al-Nakhai, Sufyan Al-Sauri, Abdurrahman Al-Auzai, Abi Thalib, Imam Yahya, dan sebagian ulama dari kalangan madzhab Syafii. Ulama-ulama tersebut menetapkan bahwa sanksi terhadap pelaku homoseksual pria itu sama dengan hukuman zina.

 

 

Mereka berpendapat bahwa kepada pelakunya diberlakukan hukuman zina, yaitu cambuk bagi yang masih bujangan dan dirajam (dilempar dengan batu hingga wafat) bagi mereka yang sudah menikah. Argumentasi yang mereka ajukan, kata Prof Huzaemah, adalah bahwa perbuatan homoseksual dalam bentuk penyimpangan demikian termasuk ke dalam kategori perbuatan zina.

 

 

Imam Nawawi Al-Bantani juga mengelompokkan tindakan penyimpangan seksual sesama jenis ini sebagai zina. Hal ini terutama dikaitkan dengan Surah Al-Mukminun ayat 5-7, Allah berfirman, “Walladzinahum lifurujihim haafizhun. Illa ala azwaajihim aw maa malakat aimaanuhum fa-innahum ghairu malumin. Famanibtagha wara-a dzalika humul-aadun."

 

 

Yang artinya, “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas."

 

 

Dijelaskan bahwa dalam ayat ini dan ayat sebelumnya, Allah SWT telah menjelaskan bahwa kebahagiaan seseorang hamba Allah SWT itu amat tergantung pada pemeliharaan kemaluannya dari berbagai penyalahgunaan. Agar dia tidak termasuk ke dalam orang-orang yang tercela.

 

 

Maka, kata Prof Huzaemah, menahan hawa nafsu jauh lebih ringan daripada menanggung akibat buruk dari perbuatan zina ataupun berhubungan intim sesama jenis. Allah SWT telah memerintahkan Rasulullah SAW agar menyampaikan perintah itu kepada umatnya agar mereka menjaga pandangannya dengan cara memejamkan mata dan memelihara kemaluannya.

 

 

3. Tergantung negara

 

 

Adapun pendapat ketiga adalah menyatakan bahwa hukumannya diserahkan kepada penguasa. Pendapat ini dianut oleh Imam Abu Hanifah, Muayyad Billah, Murtadha, yang keduanya ahli fikih Syiah dan Imam Syafii dalam riwayat yang lain. Prof Huzaemah menjelaskan, bahwa ulama-ulama tersebut berpendapat pelaku homoseksual dapat dikenakan sanksi oleh penetapan hukuman oleh penguasa.

 

 

Sebab perbuatannya tersebut dinilai tidak dikategorikan ke dalam perbuatan zina, maka hukumannya pun tidak disamakan dengan hukuman zina. Menurut As-Syaukani, pendapat pertama yang kuat sebab berdasarkan nash shahih, pendapat kedua lemah karena hadis yang digunakannya lemah, dan pendapat ketiga dipandang lemah karena bertentangan dengan nash yang telah menetapkan hukuman mati, bukan ta’zir.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement