REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Dari sebagian pasal Piagam Madinah yang menyangkut kaum Yahudi, tampak sejak awal Rasulullah SAW menghendaki terbangunnya tatanan kehidupan masyarakat yang harmonis di Madinah.
Pendekatan persuasif ini tampak semakin jelas, ketika Nabi SAW menyebut kaum Yahudi (bersama Nasrani) sebagai Ahl al-Kitab.
Dengan sebutan ini, maka dampaknya, antara lain, lelaki Muslim masih dibolehkan menikahi wanita Yahudi dan daging hewan sembelihan Yahudi halal dimakan Muslim.
Dalam muamalat, jual beli dan pelbagai bentuk transaksi lainnya yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, kaum Muslim juga dibolehkan melakukannya dengan Yahudi. Faktanya, setelah kedatangan Nabi SAW ke Madinah, kaum Muslim tetap melakukan transaksi di pasar Yahudi.
Abdurraman bin `Auf, seorang sahabat terkemuka, memulai peruntungannya di hari-hari pertama keberadaannya di Madinah dengan berdagang di Pasar Bani Qainuqa, milik Yahudi (Shahih al-Bukhari, no 3780).
Ali bin Abu Thalib, menantu Nabi SAW, sebagian persiapan walimahnya ditangani seorang dari Bani Qainuqa` (Shahih Muslim, no 5242). Bahkan, Nabi SAW menggadaikan baju perangnya dengan 30 sha` gandum kepada seorang Yahudi Bani Zhafar bernama Abu Syahm (Ibnu Hajar, Fath al-Bari, Jilid tujuh hal 461).
Jaminan konstitusi dan pendekatan-pendekatan persuasif yang dilakukan Nabi SAW menunjukkan toleransi yang tinggi kepada kaum Yahudi. Tapi, seiring perjalanan waktu, kaum Yahudi melihat masyarakat Muslim sebagai ancaman bahkan musuh.
Sejumlah individu Yahudi membuat kericuhan dan menyebarkan permu -suhan. Fanhash, seorang Ahbar (Rabbi) Yahudi, menghina Allah SWT dan Alquran di hadapan Abu Bakar (Ibnu Ishaq, Jilid dua hal 134),
Baca juga: Nubuat Rasulullah SAW tentang Konflik Internal Umat Muslim Terbukti
Ka`ab bin al-Asyraf, pemuka Bani Nadhir, merusak kios-kios di pasar baru milik kaum Muslim (as-Samhudi, Wafa al-Wafa, Jilid satu hal 539), Sallam bin Misykam, pemuka Bani Nadhir, sempat menjamu Abu Sufyan di rumahnya dalam Perang Sawiq dan memberi informasi penting tentang kaum Muslim (Ibnu Ishaq, Jilid tiga hal 4).