Sabtu 18 Nov 2023 15:30 WIB

Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Thailand

Islam berkembang di Thailand diperkirakan sekitar abad ke-10.

Rep: Mabruroh/ Red: Muhammad Hafil
Masjid Wadi Al Husein adalah salah satu peninggalan dalam sejarah penyebaran Islam di Thailand bagian selatan, tepatnya di Provinsi Narathiwat. Masjid ini berusia lebih dari 300 tahun.
Foto:

Menjelang awal abad ke-18 M hingga sepanjang abad ke-19 Pattani terus berperan sebagai pusat kebudayaan atau tamadun Islam bahkan sebagai pusat kegiatan kesusastraan Melayu berunsur Islam. Sepanjang abad tersebut Pattani telah melahirkan ulama-ulama besar yang tidak hanya terkenal di tanah Melayu tetapi dikenal juga di Arab, Turki, dan Afrika Utara. Pada masa itu "Pattani" mendapat julukan "Cermin Mekkah" yang banyak dikunjungi pelajar Muslim dari Sri Lanka, Burma (Myanmar), Kamboja, Vietnam, Filipina, negeri-negeri Melayu, dan seluruh Nusantara seperti Sumatra (terutama Aceh), Sulawesi, Kalimantan, Jawa, dan Brunei.

Dalam mengembangkan dakwahnya, para ulama menggunakan lembaga pendidikan "Pondok" sebagai basis kegiatannya. Diantara pondok yang paling tua dan cukup terkenal aktif menjalankan dakwah di Pattani adalah Pondok Dala, Bermin, Semela, Dual, Kota, Gerisik, dan Telok Manok. Pondok-pondok ini telah didatangi bukan saja oleh para pelajar dalam negeri tapi juga dari luar negeri.

Menjelang pertengahan abad ke-19 M, wilayah Kesultanan Pattani telah menjadi korban penaklukan Kerajaan Siam (Muang-tai/Thailand). Prosesnya dimulai tahun 1786 M ketika tentara Kerajaan Siam menaklukkan kekuatan tentara Kesultanan Pattani dan menguasai seluruh wilayah kerajaan Islam ini. Sebagai akibat dari kekalahannya ini, bangsa Pattani menerima hukuman perang dari Kerajaan Siam berupa kekejaman dan penganiyaan.

Sir Francis Light yang baru tiba di Pulau Pinang, menulis surat pada tanggal 12 September 1786 kepada Gubernur Jenderal Lord Cornwallis di India melaporkan kekejaman tentara Thailand (Siam) yang menjajah Pattani. Menurut laporan itu, kaum lelaki, perempuan tua dan anak-anak yang tidak berdosa telah disiksa, diikat, dan dibaringkan di tanah lapangan yang luas, dan selanjutnya dinjak-injak oleh gajah sampai mati. Menurut catatan pada tahun 1786 M, kekejaman ini telah menyebabkan 15 ribu dari 90 ribu penduduk Pattani mengungsi di sepanjang sungai Muda, Kedah Semenanjung Melayu. Sebanyak 4.000 orang Melayu Pattani ditawan dan dibawa ke Bangkok sebagai pekerja paksa untuk menggali terusan sungai. Sementara itu, istana bersama Masjid Kesultanan Pattani dibakar tentara Kerajaan Thailand, hancur tidak tersisa, hanya masjid saja yang dikenal dengan masjid Gresik atau Krue Sek di Ampheu Saiburi, Provinsi Pattani.

Pada 1791, pemerintahan Bangkok melantik Tengku Lamidin sebagai Raja Pattani, namun ia memberontak karena tidak tahan atas kekejaman Kerajaan Thailand atas rakyat Pattani. Pemberontakan Tengku Laimidin mendapatkan bantuan dari Syeikh Abdul Kamal al-Maki dari Makkah. Syeikh Abdul Kamal al-Maki melakukan kesepakatan dengan Raja Annam, Okphaya Chi So (raja Islam), untuk membantu Tengku Lamidin dalam menentang kekuasaan Thailand. Namun tentara gabungan Thailand, yaitu Singgora-Ligor-Bedelung-Bangkok berhasil mengalahkan pasukan Tengku Lamidin. Untuk mengendalikan dari pemberontakan, kemudian Pattani di bawah kendali penguasa Senggora.

Pada 1808 M, Bangkok melantik Datuk Pangkalan sebagai Raja Pattani, namun Datuk Pangkalan pun memberontak terhadap Bangkok. Ia mendapat bantuan dari Kesultanan Terengganu dan Lanun Siak untuk menyerang Senggora. Di bawah pimpinan Jenderal Chao Phaya Ponthalep pemberontakan Datuk Pangkalan ini dapat dikalahkan. Kemudian Raja Rama I, mengangkat seorang pedagang China (Tiongkok) dari daerah Chena (Shongkla sekarang), Nai Kwan Sai, menjadi Raja Pattani.

Semenjak itu berakhirlah pemerintahan Melayu di Pattani, selanjutnya diperintah oleh orang China Thai. Nai Kwan Sai kemudian diganti oleh Nai Him Sai. Kemudian untuk memperlemah kekuatan Pattani, di bawah kendali Raja China Thai tersebut wilayah Pattani dipecah menjadi tujuh negeri, yaitu Pattani, Taluban (Sai), Nong Chik, Jalor (Yala), Jering (Jambu), Rangae (Legeh) dan Raman." Meskipun ada pemberontakan Tunku Kudin dari Kedah (tahun 1831), namun pemberontakan ini dapat dipatahkan pihak Bangkok, sehingga sejak tahun ini Kerajaan Thailand dapat menguasai penuh seluruh tujuh negeri Pattani di bawah kendali seorang gubernur.

 

Dalam 1904 dan 1909 M, sebagai akibat dari disepakatinya perjanjian Anglo-Simese, yaitu perjanjian antara pihak Inggris di Semenanjung dan Kerajaan Siam (Thailand), di mana disepakati dalam perjanjian tersebut wilayah Pattani dimasukkan ke dalam empire Thailand, sedangkan Terengganu, Kedah, Kelantan, dan Perlis dan seluruh negeri Semenanjung Selatan diserahkan kepada British (Inggris).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement