REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Mengapa banyak orang saleh yang justru terkesan berada dalam garis kemiskinan? Pertanyaan ini banyak bergulir di benak banyak orang.
Pendiri AQL Islamic Center, Ustadz Bachtiar Nasir, dikutip dari dokumentasi Harian Republika, Rabu (15/11/2023), memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Dia mengutip ayat berikut ini:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang ba nyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang- binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).” (QS Ali Imran [3]: 14).
Ayat di atas menggambarkan, karena kebutuhan (needs) dan kepuasan ( satisfaction) orang-orang saleh tidak sama dengan kegemaran dan kesenangan orang-orang yang lalai alias pencinta dunia.
Kebutuhan mendasar orang saleh adalah mendapatkan kelimpahan rahmat (kasih) Allah SWT, kebutuhan mereka terhadap makan dan minum tidaklah berlebihan.
Begitu juga kebutuhan mereka terhadap materi hanya sebatas yang diperlukan. Mereka tidak digemarkan seleranya oleh Allah SWT untuk berlebihan dalam pola konsumsi dan memiliki materi.
Kepuasan orang saleh adalah jika dapat menjalankan ketaatan pada Allah SWT dan Rasul SAW sebanyak-banyaknya, ketamakan mereka adalah pada rida Allah saja.
Hal inilah yang memalingkan orang saleh dari kesibukan yang dicari dan dikejar orang yang lalai. Di sinilah perbedaan ukuran antara orang yang saleh dan orang yang lalai.
Kalau ada manusia yang paling banyak ujian dan cobaannya adalah para nabi dan rasul yang menganjurkan umatnya untuk beriman dan beramal saleh.
Kalau kita perhatikan hanya beberapa nabi atau sedikit sekali yang men dapat kesempatan menikmati kelezatan dunia.
Jika Allah SWT menghendaki, bisa saja semua nabi itu seperti Sulaiman as, nyatanya sebagian besar mereka terkesan hidup dalam penderitaan dan kekurangan menurut pandangan dan ukuran keduniaan. Janji Allah SWT kepada orang yang beriman dan beramal saleh pasti terjadi.
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, da lam ke adaan beriman maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan ke pada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS al- Nahl [16]: 97).
Keadilan Allah SWT tak harus sejalan dengan alur pikiran manusia. Pemikiran kita yang seharusnya percaya dan tunduk pada ilmu Allah SWT.
Kebenaran juga tak harus selalu masuk akal karena firman Allah SWT pasti menjadi fakta bukan yang masuk akal seseoranglah yang dijadikan standar kebenaran dan fakta. Suka atau tidak suka semua hamba harus tunduk pada kehendak (iradah) dan ketetapan (qadha) Allah SWT.
Baca juga: Benarkah Membaca Alquran Secara Rutin Hindarkan Pikun? Ini Kata Ulama
Ukuran keberhasilan bagi orang saleh bukanlah pada materi dan pandangan keduniaan. Bagi mereka kekayaan adalah ketika keinginan sudah tidak lagi dikecamuk oleh hawa nafsu ingin memiliki dunia, rasa kaya, dan kekayaan sesungguhnya adalah ketika sudah mampu mensyukuri setiap nikmat yang telah Allah SWT berikan dan ketika sudah ringan dan bahagia hati ini kala mau berbagi dan memprioritaskan orang lain.