REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bersalaman dengan wanita yang bukan mahram di kalangan umat Islam dianggap sebagai hal biasa. Namun, ada juga umat Islam yang mengharamkan bersalaman dengan yang bukan mahram. Masing-masing dari mereka pun memiliki landasannya.
Terkait hal ini, di kalangan ulama memang terjadi perbedaan pendapat. Beberapa ulama menganggap bahwa bersalaman antara pria dan wanita yang bukan mahram adalah sesuatu yang diperbolehkan dengan syarat.
Di sisi lain, ada ulama yang berpendapat bahwa berjabat tangan antara pria dan wanita yang bukan mahram tidak dianjurkan, dengan alasan untuk menjaga batasan-batasan yang ditetapkan dalam agama. Lalu, bagaimana hukumnya?
Pendapat yang Mengharamkan Secara Mutlak
Pendiri Rumah Fiqih Indonesia, Ustaz Ahmad Sarwat, menemukan ada banyak kalangan ulama yang tetap mengharamkan secara mutlak. Dan dari segi argumentasi, ada begitu banyak dalil yang dikemukakan dari pihak-pihak yang mengharamkan secara mutlak, antara lain, hadis tidak bersalamannya Nabi SAW ketika membaiat para wanita shahabiyah serta hadis ditusuknya dengan besi panas dan sebagainya.
Menurut Ustaz Sarwat, kebanyakan ulama yang mengharamkan bersalamannya laki-laki dan wanita yang bukan mahram mendasarkan larangannya dengan peristiwa di mana Rasulullah SAW secara tegas menolak bersalaman dalam peristiwa baiat.
عن عائشة - رضي الله عنها - قالت: والله ما أخذ رسول الله صلى الله عليه وسلم على النساء قط إلا بما أمره الله تعالى وما مست كف رسول الله صلى الله عليه وسلم كف امرأة قط وكان يقول لهن إذا أخذ عليهن البيعة: "قد بايعتكن كلامًا
Aisyah berkata bahwa Rasulullah SAW tidaklah pernah menyentuh wanita sama sekali sebagaimana yang Allah perintahkan. Tangan beliau tidaklah pernah menyentuh tangan mereka. Ketika baiat, beliau hanya membaiat melalui ucapan dengan berkata, “Aku telah membaiat kalian” (HR Bukhari Muslim).
Aisyah Radhiyallahuanha secara tegas berfatwa bahwa larangan menyentuh wanita yang bukan mahram didasarkan pada tindakan Rasulullah SAW yang menolak bersalaman ketika membaiat para wanita.
Dalil lainnya terkait dengan haramnya bersalaman dengan lawan jenis bukan mahram adalah hadis yang mengancam pelakunya akan ditusuk dengan jarum terbuat dari besi pada bagian kepalanya.
لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ
“Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya” (HR Ath-Thabrani).
Menurut Ustaz SArwat, kalau sekadar menyentuh wanita yang tidak halal itu saja sudah diancam dengan ditusuk dengan jarum besi, apalagi sampai bersalaman, di mana satu sama lain saling menggenggam tangan. Tentu dari sisi hukumnya sudah jelas jauh lebih haram lagi.
“Dan ancaman ditusuk kepala ini jelas merupakan bentuk hukuman yang sadis di dalam neraka. Tidaknya ada hukuman yang sadis di neraka, kecuali level keharamannya itu tinggi serta level dosanya bukan dosa biasa, melainkan termasuk dosa besar,” kata Ustaz Sarwat dikutip dari laman resmi Rumah Fiqih Indonesia.
Selain dua dalil di atas, ada juga dalil lain dengan nalar dan logika. Para wanita yang bukan mahram itu kalau dilihat saja sudah haram hukumnya, maka apalagi kalau disentuh, tentu lebih haram lagi hukumnya. Dan itulah yang dikatakan oleh Al-Imam An-Nawawi (w. 676 H) rahimahullah. Beliau menuliskan pendapatnya di dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab sebagai berikut:
كل من حرم النظر إليه حرم مسه وقد يحل النظر مع تحريم المس فانه يحل النظر إلى الاجنبية في البيع والشراء والاخذ والعطاء ونحوها ولا يجوز مسها في شئ من ذلك
Setiap yang diharamkan untuk dipandang, maka haram untuk disentuh. Namun, ada kondisi yang membolehkan seseorang memandang, tetapi tidak boleh menyentuh, yaitu ketika bertransaksi jual beli, ketika serah terima barang, dan semacam itu. Namun, sekali lagi, tetap tidak boleh menyentuh dalam keadaan-keadaan tadi.
Pendapat yang Membolehkan
Yang dimaksud dengan membolehkan di sini tentu saja masih dalam batas koridor yaitu tidak menimbulkan syahwat, tidak dengan berduaan (khalwah) dengan lawan jenis yang bukan mahram serta tidak menimbulkan fitnah atau bahan pembicaraan kotor di tengah manusia.
Contohnya seperti bersalamannya dua pejabat resmi negara dalam acara resmi yang dihadiri oleh orang banyak, di mana tidak dimungkinkan terjadinya syahwat, khalwat serta fitnah. Adapun dalil yang menjadi landasan pendapat ini antara lain :
1. Dua Kritik Atas Kisah Bai'at Wanita
Peristiwa Baiat Wanita dimana Rasulullah SAW disebutkan tidak menyentuh atau tidak menjabat tangan para wanita ternyata dikiritisi oleh pihak yang membolehkan dengan dua masalah:
a. Kritik Atas Keshahihannya
Menurut mereka kisah tidak bersalamannya Nabi SAW dengan para wanita di dalam baiat itu ternyata tidak satu versi, namun ada beberapa versi. Kalau kalangan yang mengharamkan meyakini bahwa dalam peristiwa itu Rasulullah SAW menolak untuk bersalaman dengan para wanita, maka versi yang lain malah menyebutkan beliau SAW justru bersalaman dengan para wanita.
b. Kritik Atas Istidlalnya (Cara Penyimpulan Hukumnya)
Seandainya secara sanad diterima bahwa Rasulullah SAW memang tidak bersalaman dengan wanita dalam peristiwa itu, bukan berarti hal itu menjadi dasar untuk mengharamkan. Sebab ada kadaih bahwa at-tarku (الترك), yaitu ketika Nabi SAW meninggalkan suatu pekerjaan, tidak lantas berarti hukumnya haram.
Sebab ada banyak sekali perbuatan yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW, seperti ketika beliaw SAW sengaja tidak makan daging dhab (hewan mirip biawak), tetapi membiarkan para shahabat memakannya.
“Maka hukumnya disepakati bahwa hewan itu tidak haram. Sebab kalau haram, pastilah beliau SAW melarang para shahabat memakannya. Di sini jelas sekali bahwa tidak mentang-mentang Nabi SAW meninggalkannya, bukan berarti lantas hukumnya jadi haram,” kata Ustaz Sarwat.