REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Tokoh Islam, cendekiawan, politikus dan sekaligus salah seorang negarawan, Mohammad Natsir dilahirkan pada Jumat, 17 Jumadil Akhir 1326 H, yang bertepatan dengan 17 Juli 1908 M di kampung Jembatan, Berukir Alahan Panjang, termasuk wilayah Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Provinsi Sumatra Barat.
Adapun Ayah M. Natsir bernama Idris Sutan Saripado sebagai seorang juru tulis kontrolir di Maninjau yang kemudian menjadi sipir atau penjaga tahanan di Bekeru Sulawesi Selatan. Sedangkan Ibunya bernama Khadijah sebagai keturunan Chaniago.
Mohammad Natsir lahir dari rahim Ibunya seorang muslimah yang taat, begitu pula Ayahnya seorang muslim juga taat terhadap aturan agama. Sebagaimana masyarakat Minang lainnya, maka wajar M. Natsir selama masa kanak kanak gemar mengaji dan menuntut ilmu agama, baik pada waktu pagi, siang, maupun sore harinya. M. Natsir mempunyai tiga saudara, yaitu Yukiman, Rubiah, dan Yohanusun.
Di tempat kelahiranya itu, ia hidup bersama saudaranya dan kedua orang tuanya. Bahkan sebagai sosialisasi keagamaan dan intelektualnya selama sebelas tahun, sejak 1916 hingga 1927, baik di Alahan Panjang maupun di Padang.
Kemudian pada 1927 dia hijrah ke Bandung untuk mengembangkan keagaman dan keintelektualnya, sehingga pada 1934 bertemu jodoh seorang wanita yang bernama Nurnahar. Pada akhirnya Nurnahar menjadi istrinya sebagai pendamping hidup M. Natsir pada 20 Oktober 1934 di Bandung. Dengan pernikahan ini, M. Natsir mendapat gelar Datuk Sinaro Panjang sebagai adat Minangkabau bahwa gelar tersebut, diberikan setelah menikah.
Dari pernikahan ini, mereka memperoleh enam orang anak, yaitu Siti Mukhlisah (20 Maret 1936), Abu Hanifah (20 April 1937), Asma Farida (17 Maret 1939), Dra. Hasanah Faizah (5 Mei 1941), Drs. Asyatul asrah (20 Mei 1942), dan Ir. Ahmad Fauzi (26 April 1944). Keenam anak M. Natsir tersebut, tidak ada yang meneruskan titah perjuangan Ayahnya.
Sementara itu, aktifitas politik M. Natsir berangkat dari kota Bandung yang telah membesarkan mejadi orang yang disegani dalam bidang berpolitikan. Karena ia telah belajar dari Haji Agus Salim dalam bidang politik sejak di Jong Islamieten Bond (JIB) Bandung. Walaupun pada saat itu, M. Natsir belum terkenal karena sibuk dengan persoalan pendidikan, bahkan belum terjun secara langsung dalam berpolitikan di Indonesia. Baru pada 1930, M. Natsir mulai berkecimpung dalam bidang politik sejak dia diminta oleh Ketua Partai Sarikat Islam (PSI) Sabirin cabang Bandung untuk menjadi anggota.
Ketika PSI/SPII terpecah belah oleh sebab-sebab intern dan ekstern, maka M. Natsir bergabung dengan Partai Islam Indonesia (PII) yang didirikan oleh dr. Soekiman Wirjosandjojo, KH. Mas Mansur, R. Wiwohono, dan Ki Bagus Hadikusomo pada tahun 1939. Bahkan M. Natsir terpilih menjadi ketua PII cabang Bandung sampai masuknya 1942 dan membubarkan semua partai politik yang ada pada saat itu. Dan sebelumnya, M. Natsir pernah menjadi anggota Dewan Kabupaten Bandung pada tahun 1940-1942.