REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Keberadaan Sarekat Dagang Islam (SDI) menjadi cikal bakal tumbuhnya kebangkitan nasional di Tanah Air. Sarekat Dagang Islam lahir di Surakarta pada awal abad ke-20, tepatnya pada tahun 16 Oktober 1905.
Kelahiran organisasi dagang tersebut adalah untuk merespons keadaan sosial dan ekonomi yang menyengsarakan rakyat. SDI berupaya mencegah kehancuran ekonomi rakyat berdasarkan identitas keislaman.
Politik Pintu Terbuka saat itu pada nyatanya merusak perekonomian rakyat. Orang China saat itu menjadi perantara perdagangan batik yang ditunjuk Belanda hingga kemudian memonopoli semua lini perdagangan.
Konteks pada saat itu ialah adanya diskriminasi perdagangan. Pedagang China yang didukung oleh pemerintah Hindia Belanda mendapat keleluasaan untuk kepentingan perdagangan dan lalu lintas. Mereka bisa membeli langsung bahan-bahan untuk pembuatan batik, dari importir.
Sedangkan pengusaha batik dari Jawa harus membeli bahan dari pedagang Timur Asing, khususnya pedagang China. Dampaknya, harga batik pedagang Jawa lebih tinggi ketimbang pedagang Timur Asing. Alhasil, pemasaran batik saat itu dikuasai oleh orang-orang China.
Kemudian, Sarekat Dagang Islam berubah nama menjadi Sarekat Islam dengan tujuan untuk memperluas perjuangannya agar tidak hanya menjangkau lini perdagangan tetapi juga bidang-bidang yang lain. Termasuk memperluas sasaran sehingga tidak hanya menjangkau para pedagang tetapi juga para haji dan kiai.
Dalam situasi itu, siapa saja tokoh-tokoh besar yang terlibat di dalamnya? Berikut ini daftar tokoh pahlawan dari Sarekat Islam.
1. Haji Samanhudi
Haji Samanhudi adalah pendiri Sarekat Dagang Islam. Haji Samanhudi adalah pengusaha dan pedagang batik asal Surakarta. Dia melihat adanya diskriminasi perdagangan yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pedagang-pedagang China diberikan keleluasaan maupun keringanan dalam hal perdagangan. Sedangkan pedagang pribumi tidak mendapatkannya.
Saat itu importir bahan-bahan batik adalah orang Belanda dan Eropa. Namun penjualan bahan-bahan tersebut tidak langsung kepada pengusaha pribumi, tetapi melalui perantara, yaitu orang-orang Timur Asing. Orang Timur Asing mengacu pada orang China dan Arab, tetapi sebagian besar perantara saat itu adalah orang-orang China.
Di sisi lain, orang-orang China saat itu tidak hanya berperan sebagai perantara penjualan bahan batik, tetapi mereka juga memiliki perusahaan pembatikan. Sehingga, perusahaan mereka pun membeli bahan batik langsung dari importir orang-orang Belanda dan Eropa.
Saat itulah, nasib yang tidak mengenakkan dan diskriminasi perdagangan dirasakan oleh perusahaan pembatikan milik pribumi, karena harus membeli bahan batik dari pedagang-pedagang China, yang juga memiliki perusahaan pembatikan. Dampaknya, harga jual batik dari pengusaha pribumi lebih mahal ketimbang batik yang dibuat oleh pedagang China. Alhasil, banyak perusahaan batik pribumi saat itu yang tumbang karena tekanan harga dari pedagang-pedagang China.
Dalam konteks itulah, Haji Samanhudi bergerak melalui Sarekat Dagang Islam. "Dengan ikhlas, untuk kemurnian sejarah pergerakan Indonesia, dengan ini saya terangkan bahwa SDI dilahirkan pada tanggal 16 Oktober 1905, di rumah saya di kampung Sandokan, Solo, dengan delapan orang teman, yaitu: Saudara Sumawardoyo, Wiryotirto, Suwandi, Suporanoto, Jarmani, Zhardjosuwarto, Sukir dan Martodikono," kata Haji Samanhudi, dikutip dari buku 'Sarikat Islam Obor Kebangkitan Nasional 1905-1944' karya M. Mansyur Amin.
Sarekat Dagang Islam bertujuan untuk menggalang kerja sama di antara para pedagang Islam untuk memajukan perdagangan dan menyaingi pedagang-pedagang China. Sarekat tersebut kemudian dibentuk di Jakarta oleh R.M. Tirtoadisuryo pada tahun 1909, lalu dibentuk lagi di Bogor pada tahun 1911.
Haji Samanhudi dan R.M. Tirtoadisuryo kemudian melakukan kerja sama dalam hal pembuatan surat kabar. Namun ini tidak berlangsung lama. Terjadi pertikaian di antara keduanya karena penyalahgunaan dana dan harga surat kabar yang tidak sesuai dan terlalu mahal dari persetujuan awal. Pada akhirnya, keduanya tidak lagi bekerja sama.
Namun Haji Samanhudi ingin organisasi ini terus berjalan dan disahkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Dia pun harus mencari sosok yang tepat untuk membantu mewujudkannya.
2. H. O. S Tjokroaminoto
Tokoh pahlawan selanjutnya dari Sarekat Islam adalah H. O. S Tjokroaminoto. Di sinilah terjadi perubahan nama dari Sarekat Dagang Islam menjadi Sarekat Islam. Haji Samanhudi menyampaikan permintaan kepada Tjokroaminoto untuk menyusun dan menjalankan organisasi Sarekat Dagang Islam.
Hal itu disetujui oleh Tjokroaminoto. Dia pun membuat akta hukum organisasi baru yang dinamakan Sarekat Islam. Akta hukum ini dibuat atas namanya sendiri pada 10 September 1912. Pembentukan Sarekat Islam akhirnya mendapat pengakuan dari pemerintah Hindia Belanda.
Pembuatan badan hukum Sarekat Islam dilakukan di hadapan notaris bernama B. Tert Kuile di Solo dan ditetapkan pada 10 November 1912, berdasarkan anggaran dasar Sarekat
Islam yang baru.
Perubahan nama itu dilakukan agar perjuangan organisasi bisa lebih luas. Tidak hanya menjangkau lini perdagangan tetapi juga bidang-bidang yang lain. Termasuk memperluas sasaran sehingga tidak hanya menjangkau para pedagang tetapi juga kalangan lain, di antaranya para haji dan kiai.
Setelah itu, Sarekat Islam memiliki kesempatan yang terbuka lebar untuk melebarkan sayapnya, yang tidak hanya bergerak pada perekonomian tetapi juga pada bidang sosial budaya dan politik berlandaskan ajaran Islam. Orientasi Sarekat Islam adalah untuk kepentingan bangsa, negara dan agama.
Tjokroaminoto terus mengembangkan Sarekat Islam yang tidak hanya di Pulau Jawa tetapi hingga ke luar pulau. Dengan tujuan untuk membela kepentingan para pedagang Indonesia dari pedagang China. Tjokroaminoto dapat dikatakan berhasil membawa perkembangan Sarekat Islam yang lebih luas di berbagai wilayah demi kemaslahatan masyarakat, sekaligus menjadikan Sarekat Islam sebagai organisasi massa pertama di Indonesia.
3. H. Agus Salim
H. Agus Salim bergabung dengan Sarekat Islam (SI) pada tahun 1915. Seiring berkembangnya Sarekat Islam, golongan komunis mulai merasuki organisasi tersebut. Dalam kondisi ini, Agus Salim memiliki perang penting dalam membendung golongan komunis di tubuh Sarekat Islam.
Pada Maret 1921, digelar kongres Sarekat Islam yang berlangsung di Yogyakarta. Agus Salim mendebat orang-orang komunis, seperti Semaun, Burink, dan Darsono. Islamlah jalan hidup yang lengkap, tidak perlu isme-isme lain, termasuk komunisme.
Bahkan Agus Salim menulis dalam harian yang dipimpinnya, "Neratja", "Tidak perlu mencari isme-isme lain yang akan mengobati penyakit pergerakan. Obatnya ada di dalam asasnya sendiri, asas yang lama dan kekal […] Asas itu ialah Islam."
Lambat-laun, hingga setelah tahun 1929, suasana di tubuh organisasi Sarekat Islam kian jauh dari saat organisasi itu berdiri. Sejumlah Sarekat Islam di daerah bergabung dengan Partai Komunis Indonesia.
Kemudian, Sarekat Islam berusaha membangkitkan kekuatannya. Agus Salim membangun gerakan Pan-Islamisme, untuk mengumpulkan kembali kekuatan Islam di Indonesia. Pada tahun 1925, diselenggarakan kongres bersama antara Al-Islam dan Sarekat Islam di Yogyakarta.
Saat itu Tjokroaminoto merekomendasikan untuk memulai menyusun kehidupan rakyat di lapangan ekonomi, sosial dan kebudayaan, dengan berdasarkan asas-asas Islam. Kongres bersama tahun 1925 di Yogyakarta telah menghasilkan keputusan. Namun, keputusan itu ditentang karena ada perbedaan tujuan.
Kelompok H. O. S. Tjokroaminoto dan Agus Salim lebih menekankan pada asas keagamaan. Sedangkan kelompok lain, yaitu Sukiman dan Suryopronoto yang merupakan anggota Sarekat Islam lainnya lebih menekankan pada asas kebangsaan.
Pada akhirnya, Dr. Sukiman dan kawan-kawannya mendirikan partai baru yaitu Partai Islam Indonesia pada tahun 1923.
Di tahun yang sama, pada kongres di Madiun Jawa Timur, Sarekat Islam berubah menjadi Partai Sarekat Islam. Pada 1936, Abikusno naik memimpin partai ini dan mendepak Agus Salim cs.
Kendati demikian, hingga zaman pendudukan Jepang, Agus Salim terus bergiat dalam pergerakan politik Penjadar bersama rekan-rekannya, semisal Mohammad Roem, AM Sangaji, Surowiyono, dll.
Sumber:
Saefullah Wiradipraja, "Satu Abad Dinamika Perjuangan Sarekat Islam".
Yamis, "Sarikat Islam dalam Pergerakan Nasional Indonesia (1912-1927)", (Jurnal Sejarah Lontar, Januari-Juni 2009)