REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang Muslim berwasiat kepada ahli warisnya bila ia telah wafat agar kornea matanya dihibahkan kepada orang lain yang membutuhkan. Apakah wasiat itu dapat dilaksanakan oleh ahli waris?
Tentang persoalan wasiat menghibahkan kornea mata, Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa yang ditandatangani oleh Komisi Fatwa MUI pada 13 Juni 1979. Fatwa tersebut dikeluarkan MUI setelah membaca pernyataan tertulis PMI Jawa Tengah tentang donor mata.
Dalam fatwa tentang wasiat menghibahkan kornea mata itu MUI merujuk sejumlah keterangan di antaranya adalah hadits yang terdapat dalam kitab Sibul as Salam jilid II halaman 182 yaitu:
كسر عظم الميت ككسر عظم الحي في الإثم (رواه أبو داود وابن ماجه )
Artinya: "Memecah tulang orang mati dianggap seperti memecahkan tulang orang hidup dalam hal dosanya,"
Selain itu, keterangan dalam kitab Rahmah Al Ummah di Ikhtilaf Al A'imamah halaman 67 yaitu:
والحامل إذا مات وفي بطنها ولد حي شق بطنها عند أبى حنيفة والشافعي ، وقال أحمد ، لا يشق وعن مالك روايتان كالمذهبين (رحمة الأمة في اختلاف الأئمة)
Yaitu: "Orang hamil yang meninggal, sedang dalam kandungannya ada bayi yang masih hidup, harus dibedah perutnya (untuk menyelamatkan bayinya) menurut Imam Abu Hanifah dan Syafi'i. Menurut Imam Malik, boleh dibedah, boleh tidak, sedang menurut Imam Ahmad bin Hanbal tidak boleh dibedah,". (Wanita hamil yang meninggal harus dibedah untuk menyelamatkan bayinya yang masih diharapkan hidup) .
Lalu, keterangan dalam kitab Al Muhazzab jilid I halaman 138 tentang seseorang yang meninggal dan menelan barang berharga milik orang lain, wajib dibedah untuk mengeluarkan barang itu jika pemiliknya tidak merelakan.
وإن بلغ الميت جوهرة لغيره ومات وطالب صاحبها شق جوفه وردت الجوهرة ، وإن كانت الجوهرة له ففيه وجهان ، أحدهما يشق لأنها للورثة
Artinya: "Mayat yang semasa hidupnya menelan permata milik orang lain, dan pemiliknya meminta permata itu, harus dibedah perutnya dan dikembalikan permata itu kepada pemiliknya. Dan jika permata itu milik si mayat sendiri, boleh dibedah dan boleh tidak, karena permata itu adalah milik ahli waris," .
Dari sejumlah keterangan dalam kitab turats itu, komisi fatwa MUI menimbang kepentingan orang hidup tak dapat dilaksanakan kecuali melanggar kehormatan mayat, maka kepentingan orang hidup lebih diutamakan. Oleh karenanya, komisi fatwa MUI memfatwakan seseorang yang berwasiat menghibahkan kornea matanya setelah dia wafat maka wasiat itu dapat dilaksanakan dengan dilakukan oleh ahli bedah.
"Seseorang yang semasa hidupnya berwasiat akan menghidupkan kornea matanya sesudah wafatnya dengan diketahui dan disetujui dan disaksikan oleh ahli warisnya, wasiat itu dapat dilaksanakan, dan harus dilakukan oleh ahli bedah," (Lihat Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia penerbit Departemen Agama RI 2003 halaman 334).