REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Di dalam kehidupan manusia sudah pasti ada kebahagiaan atau kelapangan dan kesedihan atau kesulitan. Semua berpasang-pasangan dan silih berganti, sebagaimana adanya siang dan malam, susah dan senang, bahagia dan sedih, laki-laki dan perempuan, miskin dan kaya, sehat dan sakit, lemah dan kuat, dan lain sebagainya.
Namun, banyak manusia yang terbuai oleh kebahagian dan kelapangan hingga berujung menjadi sombong dan serakah. Banyak juga manusia yang tenggelam dalam kesulitan dan kesedihan hingga berujung menjadi kekufuran.
Lantas apa alasan diciptakannya kebahagiaan dan kesulitan? Menurut Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam Kitab Al-Hikam, adanya kebahagiaan dan kesulitan yang datang silih berganti itu agar manusia tidak tergantung pada sesuatu selain Allah SWT. Sebab hanya Allah SWT tempat segala sesuatu bergantung.
"Allah melapangkan keadaan kamu agar kamu tidak selalu dalam kesempitan, dan Allah menyempitkan keadaan kamu agar kamu tidak selalu dalam kelapangan. Allah melepaskan kamu dari keduanya agar kamu tidak bergantung pada sesuatu selain Allah." (Syekh Atha'illah, Al-Hikam)
Terjemah Al-Hikam karya Ustaz Bahreisy menambah penjelasan Syekh Atha'illah. Ia menerangkan, Allah mengubah-ubah keadaan manusia dari sedih menjadi gembira, dari sehat menjadi sakit, dari kaya menjadi miskin, dan dari terang menjadi gelap. Supaya manusia mengerti bahwa mereka tidak bebas dari hukum ketentuan Allah SWT.
Semua itu supaya manusia selalu berdiri di atas landasan "La haula wa la quwwata illa billahil 'aliyyil azhimi." Artinya, tiada daya untuk melakukan sesuatu dan tiada kekuatan untuk melakukan sesuatu, kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.
Allah SWT berfirman:
لِّكَيْلَا تَأْسَوْا۟ عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا۟ بِمَآ ءَاتَىٰكُمْ ۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
"(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri." (QS Al Hadid: 23)
Dalam penjelasan Tafsir Kementerian Agama, pada ayat ini Allah SWT menyatakan bahwa semua peristiwa itu ditetapkan sebelum terjadinya, agar manusia bersabar menerima cobaan dari Allah SWT. Cobaan dari Allah SWT itu adakalanya berupa kesengsaraan dan malapetaka, adakalanya berupa kesenangan dan kegembiraan.
Karena itu janganlah terlalu bersedih hati menerima kesengsaraan dan malapetaka yang menimpa diri, sebaliknya jangan pula terlalu bersenang hati dan bergembira menerima sesuatu yang menyenangkan hati.
Sikap yang paling baik adalah sabar dalam menerima bencana dan malapetaka yang menimpa serta bersyukur kepada Allah SWT setiap menerima nikmat yang dianugerahkan-Nya.
Ayat ini bukan untuk melarang kaum Muslimin bergembira dan bersedih hati, tetapi maksudnya adalah melarang kaum Muslimin bergembira dan bersedih hati dengan berlebih-lebihan.
‘Ikrimah berkata, “Tidak ada seorang pun melainkan ia dalam keadaan sedih dan gembira, tetapi hendaklah ia menjadikan kegembiraan itu sebagai tanda bersyukur kepada Allah SWT dan kesedihan itu sebagai tanda bersabar.”
Pada akhir ayat ini ditegaskan, bahwa orang yang terlalu bergembira menerima sesuatu yang menyenangkan hatinya, dan terlalu bersedih hati menerima bencana yang menimpanya adalah orang yang pada dirinya terdapat tanda-tanda tabkhil dan angkuh, seakan-akan ia hanya memikirkan kepentingan dirinya saja. Allah SWT menyatakan bahwa Dia tidak menyukai orang-orang yang mempunyai sifat-sifat bakhil dan angkuh.